RADAR24.co.id — Korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Talangsari Lampung 1989 mengaku tidak pernah dihubungi oleh pemerintah terkait penulisan ulang sejarah Indonesia. Edi Arsadad, Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), menyatakan bahwa hingga kini tidak ada komunikasi dengan pemerintah, khususnya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
“Kami khawatir kasus Talangsari Lampung 1989 akan dibelokkan sejarahnya dengan versi TNI dalam penulisan ulang sejarah Indonesia,” ujar Edi saat dihubungi awak media pada Senin, 2 Juni 2025. Ia menambahkan, “Sampai saat ini kami tidak pernah dihubungi oleh pemerintah, hanya mendapat informasi dari teman-teman korban HAM lainnya.”
Edi mengkritik bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia seharusnya melibatkan para korban. Ia mengingatkan bahwa masih banyak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang masih hidup dan dapat menceritakan sejarah pelanggaran HAM tersebut dengan benar.
Pernyataan Edi mencerminkan kekhawatiran mendalam di kalangan korban Talangsari 1989. Mereka merasa suara dan pengalaman mereka diabaikan dalam proses penulisan ulang sejarah yang seharusnya mencakup perspektif semua pihak yang terlibat.
Kasus Talangsari Lampung 1989 merupakan salah satu pelanggaran HAM berat di Indonesia yang melibatkan operasi militer terhadap warga sipil. Hingga kini, kasus ini masih menjadi luka sejarah yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Diketahui, Pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto melalui Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) memutuskan hanya akan memasukkan dua dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara dalam proyek penulisan sejarah ulang RI.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon beralasan keputusan itu ditetapkan karena proyek tersebut bukan untuk menulis sejarah HAM. Menurut Fadli, proyek penulisan ulang sejarah memuat keseluruhan sejarah Indonesia.
“Ini bukan menulis tentang sejarah HAM, ini sejarah nasional Indonesia yang aspeknya begitu banyak dari mulai prasejarah atau sejarah awal hingga sejarah keseluruhan,” kata Fadli usai menghadiri soft launching Sumitro Institute di Taman Sriwedari Cibubur, Depok, Jawa Barat, Minggu (1/6).
Menurut Fadli, publik tak perlu khawatir proyek penulisan ulang sejarah akan mengabaikan sejarah yang tertulis dalam sumber atau buku lain.
Namun, dia menegaskan proyek penulisan sejarah RI akan membuat narasi yang lebih positif. Bukan untuk mencari kesalahan pada setiap era.
“Tone kita adalah tone yang lebih positif karena kalau mau mencari-cari kesalahan mudah pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa,” kata dia yang juga politikus Gerindra itu.
Fadli menyebut proyek penulisan ulang sejarah akan membuat narasi Indonesia-sentris dan menghilangkan bias kolonial. Sehingga, sejarah nasional bisa relevan dengan generasi muda.
“Terutama untuk mempersatukan bangsa dan kepentingan nasional kita dan tentu saja juga untuk menjadikan sejarah itu semakin relevan bagi generasi muda,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Tuai Kritikan dari Sejarawan
Sejumlah pihak termasuk sejarawan mengkritik proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Dalam outline penulisan sejarah baru, hanya ada dua dari 12 pelanggaran HAM berat yang diakui Komnas HAM.
Beberapa peristiwa penting seperti kasus pelanggaran HAM ’65 hingga penculikan di akhir Orde Baru disebut tak masuk dalam outline buku tersebut.
Berikut daftar 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah diakui negara pada 11 Januari 2023 oleh Presiden ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi):
1. Peristiwa (1965-1966)
2. Penembakan Misterius (Petrus) (1982-1985)
3. Talangsari, Lampung (1989)
4. Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh (1998-1999)
5. Penghilangan Paksa Aktivis (1997-1998)
6. Tragedi Trisakti dan Semanggi I & II (1998-1999)
7. Kerusuhan Mei (1998)
8. Simpang KKA, Aceh (1999)
9. Wasior, Papua (2001)
10. Wamena, Papua (2003)
11. Jambo Keupok, Aceh (2003)
12. Peristiwa Timor Timur pasca-referendum (1999,diadili di Pengadilan
HAM ad hoc, namun hasilnya kontroversial.
AJ