RADAR24.co.id — Harapan akan angin perubahan dari reformasi birokrasi pendidikan di Aceh Timur kini pudar. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), yang seharusnya menjadi motor kemajuan intelektual, justru terjerat dalam gaya kepemimpinan otoriter. Bustami, Pelaksana Tugas (Plt) Kadisdikbud Aceh Timur, dituding menjalankan kekuasaan bak diktator: satu arah, satu suara, tanpa ruang untuk kritik.
Belum genap setengah tahun menjabat, gelombang ketidakpuasan telah merebak di kalangan ASN, aktivis, dan jurnalis. Bustami dituduh menjadikan jabatannya sebagai alat kekuasaan pribadi, bukan untuk pelayanan publik. Salah satu bukti nyata adalah kasus mutasi sepihak terhadap ASN berinisial MW, yang dikenal vokal dan aktif.
MW mempertanyakan keberadaan seorang pegawai yang mangkir selama hampir dua tahun. Alih-alih didukung untuk menegakkan disiplin, MW justru dimutasi ke Kecamatan Sungai Raya. Sementara itu, pegawai ‘hantu’ tersebut tetap bertahan di posisinya tanpa sanksi. Sumber internal menyebut pegawai tersebut adalah ‘orang dalam’ Bustami, menimbulkan dugaan nepotisme terang-terangan. Disdikbud kini bagaikan panggung kuasa, tempat kesetiaan dihargai dan kejujuran dibuang.
“Ini pembusukan dari dalam. Berani bersuara, langsung dicap musuh,” ujar seorang ASN senior yang meminta identitasnya dirahasiakan, mencerminkan iklim ketakutan di lingkungan Disdikbud.
Bustami juga disebut alergi terhadap media. Konfirmasi berulang dari tim redaksi tak pernah direspons. Telepon tak diangkat, pesan tak dibalas. Sikap anti-transparansi ini memperparah krisis moral birokrasi pendidikan Aceh Timur. Media dianggap gangguan, ASN kritis dicurigai, dan publik yang bertanya dianggap lancang. Ini bukan sekadar kediktatoran administratif, melainkan pembungkaman sistemik.
Parahnya, gaya otoriter Bustami seolah tak tersentuh. Banyak yang menduga kedekatannya dengan Bupati Iskandar Usman Al-Farlaky menjadi tameng kuat. Relasi ini, jika tak segera diluruskan, berpotensi merusak reputasi pemerintahan Iskandar yang dikenal progresif dan efisien di bidang anggaran serta pembangunan.
Aktivis lintas organisasi mulai bergerak. Dalam diskusi tertutup, mereka menyebut gaya kepemimpinan Bustami sebagai “kanker birokrasi” yang harus segera dihentikan. Pendidikan, yang seharusnya menjadi ladang subur bagi masa depan, kini tercemar oleh arogansi kekuasaan.
Publik menanti tindakan tegas dari Bupati Iskandar. Evaluasi menyeluruh terhadap Plt Kadisdikbud adalah keharusan. Aceh Timur tidak kekurangan sosok cerdas dan berintegritas untuk memimpin sektor pendidikan. Jika Bustami menjabat hanya karena kedekatan politik, praktik tersebut harus diakhiri.
Hingga berita ini disusun, Bustami tetap bungkam terhadap upaya konfirmasi. Sikap diamnya bukan kebijaksanaan, melainkan tanda bahwa kritik publik dianggap remeh. Namun, rakyat tak akan tinggal diam. Ketika suara ASN dan media dibungkam, publik akan bersuara lebih keras.
Seperti kata seorang mantan pejabat, “Jabatan sementara, tapi dosa kepada publik abadi.”
AJ