Oleh : ANDIKA ICHSAN (Wakil Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Aceh)

Aceh diguncang kabar yang bukan hanya mengejutkan, tapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap integritas birokrasi. Dua aparatur sipil negara (ASN) sosok yang seharusnya menjadi benteng ideologi negara ditangkap oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri karena diduga terlibat dalam jaringan terorisme.

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Aceh, Andika Ichsan mengatakan, “Ini bukan lagi isu keamanan. Ini adalah pengkhianatan dari dalam”, ujarnya, Rabu (6/8/2025).

Penangkapan MZ (40), ASN Kementerian Agama, dan ZA (47), ASN Dinas Pariwisata Banda Aceh, bukan hanya mencoreng citra institusi, tapi membuka mata kita tentang betapa rapuhnya sistem pengawasan internal birokrasi di Aceh.

Bagaimana mungkin aparatur sipil yang digaji oleh rakyat justru terlibat dalam upaya merusak tatanan negara?

Andika menyebut, “Mereka bukan warga marginal. Mereka bukan pengangguran yang disesatkan oleh propaganda. Mereka adalah bagian dari struktur formal negara. Maka pertanyaannya, siapa yang mengawasi mereka? Siapa yang lalai?”, tuturnya.

Penggeledahan yang menyertai penangkapan ini memperkuat dugaan keterlibatan mereka. Maka kita tak lagi bisa menyebut ini sebagai kasus “oknum”. Ini sudah menjadi indikasi sistemik, bahwa paham radikal tak lagi bersembunyi di kamp-kamp pelatihan gelap tapi sudah duduk nyaman di balik meja kantor pemerintah.

Andika melanjutkan, Sudah terlalu lama pendekatan terhadap radikalisme di kalangan ASN hanya bersifat normatif, seminar, pelatihan, atau tanda tangan pakta integritas. Tapi faktanya, nilai-nilai intoleran dan ideologi kekerasan terus merayap melalui jalur-jalur sunyi, menyusup ke dalam institusi publik. Jika tidak ada evaluasi total, maka hari ini hanya awal dari kehancuran yang lebih besar.

Pemerintah Aceh harus berani mengakui, ada celah dalam sistem. Dan celah itu kini sedang dimanfaatkan oleh aktor-aktor yang tidak hanya membenci negara, tapi dengan tenang memanfaatkannya dari dalam, sambungnya.

Kita membutuhkan lebih dari sekadar klarifikasi. Kita memerlukan audit ideologi menyeluruh terhadap ASN. Penilaian integritas bukan hanya tentang tidak korup, tapi juga tentang kesetiaan terhadap konstitusi dan kebangsaan. Gaji dari rakyat tidak boleh dipakai untuk membiayai agenda yang merusak republik ini.

Institusi keagamaan, pendidikan, dan birokrasi harus dibersihkan dari infiltrasi paham ekstrem. Ini bukan hanya tanggung jawab Densus 88. Ini tanggung jawab semua pihak.

Andika menegaskan, Aceh adalah tanah damai, hasil dari perjuangan panjang dan luka sejarah yang belum sembuh seluruhnya. Jangan biarkan radikalisme dengan bungkus agama atau ideologi apa pun kembali menabur benih kekerasan di tanah ini. Jika kita diam, maka kita ikut menyuburkan pengkhianatan itu.