RADAR24.co.id — Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) LBH Bandar Lampung mendesak penghentian narasi yang melemahkan perjuangan warga Anak Tuha, Lampung Tengah, terkait konflik agraria dengan PT BSA. Pernyataan ini menanggapi klaim Kapolres Lampung Tengah yang menyebut telah mengantongi nama-nama “oknum provokator” dalam aksi spontan warga tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha saat memperingati Hari Kemerdekaan dengan menanam di lahan sengketa.

 

Kepala Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, menilai narasi “provokator” sebagai upaya negara mengalihkan fokus dari akar masalah konflik agraria yang telah berlangsung puluhan tahun. “Alih-alih menyelesaikan konflik, aparat justru melemahkan perjuangan rakyat dengan stigma ‘provokator’ dan memposisikan masyarakat sebagai korban yang dimanipulasi,” ujar Prabowo, Kamis (19/8/2025).

 

Menurutnya, aksi penanaman oleh warga merupakan ekspresi sah untuk merebut kembali ruang hidup yang dirampas korporasi. “Menyebut adanya provokator adalah cara klasik negara menutup mata dari sejarah panjang perampasan hak hidup ribuan keluarga petani oleh PT BSA,” tegasnya. Prabowo menilai pernyataan Kapolres mencerminkan sikap aparat yang lebih melayani kepentingan korporasi ketimbang mengayomi rakyat. Ia menegaskan bahwa aparat seharusnya menyelesaikan konflik agraria secara adil, bukan memperdalam penderitaan warga melalui kriminalisasi.

 

Kecurigaan terhadap keberpihakan Polres Lampung Tengah semakin kuat setelah munculnya panggilan pemeriksaan terhadap delapan warga tiga kampung, hanya sehari setelah aksi pada 17 Agustus 2025. Laporan polisi bernomor LP/B/50/VIII/2025/SPKT/POLSEK Padang Ratu/POLRES Lampung Tengah langsung ditingkatkan ke tahap penyidikan, padahal proses penyelidikan untuk memastikan adanya tindak pidana belum dilakukan. “Proses secepat ini menimbulkan tanda tanya. Sementara, laporan warga miskin yang kami dampingi, termasuk 10 laporan di Polda Lampung, terbengkalai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun,” ungkap Prabowo.

 

Ia menambahkan, berdasarkan Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019, penyelidikan harus mendahului penyidikan untuk memastikan suatu peristiwa merupakan tindak pidana. “Aksi warga Anak Tuha bukan kasus tertangkap tangan. Mengapa polisi langsung menetapkan penyidikan tanpa penyelidikan? Jika dianggap pidana, mengapa tidak menangkap ratusan warga yang ikut aksi?” tanya Prabowo.

 

LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa konflik ini bukan masalah pidana, melainkan konflik agraria struktural. Warga berhak atas tanah warisan leluhur mereka untuk menanam dan hidup. Segala bentuk kriminalisasi, termasuk stigmatisasi “provokator”, pemanggilan, intimidasi, atau penangkapan, merupakan pelanggaran HAM dan perampasan ruang hidup rakyat.

 

“Penyelesaian konflik agraria harus melalui dialog yang berkeadilan, mengutamakan warga yang telah lama menderita. Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang dengan mengorbankan rakyat kecil,” pungkas Prabowo.