RADAR24.co.id — Empat tahun lalu, suara lantang Immanuel Ebenezer alias Noel menggema di ruang publik. Pada Februari 2021 ia mentweet postingan di akun X pribadinya @wamennoel98. Bahkan dia turut menandai akun X Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi); mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti; dan Menteri BUMN, Erick Thohir.
“Kembali ke Pokok Persoalan Bangsa ini. HUKUM MATI KORUPTOR !!! @susipudjiastuti, @jokowi, @erickthohir,” tulisnya.
Kemudian beberapa bulan kemudian, pada Desember 2021, tokoh relawan yang kala itu memimpin Jokowi Mania (JoMan) dengan berapi-api menuntut agar koruptor kelas kakap dijatuhi hukuman mati. Baginya, vonis seumur hidup tidak cukup menakutkan, apalagi ketika uang rakyat yang dikuras mencapai puluhan miliar rupiah. “Kalau sudah merugikan negara di atas Rp 50 miliar, layak dieksekusi mati,” begitu tegas Noel kala itu.
Kini, jejak digital itu kembali menghantui dirinya. Pada Selasa malam, 20 Agustus 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan tersebut. Ironi pun pecah di media sosial: sang pengusul hukuman mati untuk koruptor justru terjaring kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Jejak yang Berbalik Arah
Noel bukan figur asing di kancah politik. Ia dikenal sebagai aktivis, loyalis Presiden Joko Widodo, sekaligus sosok yang kerap tampil dengan gaya vokal dan kontroversial. Dari mendukung kebijakan pemerintah, menyerang lawan politik, hingga membuat pernyataan ekstrem seperti hukuman mati koruptor, Noel terbiasa hidup di tengah sorotan.
Namun, sejarah berbalik arah. Empat tahun setelah seruan moral itu, tangannya kini diborgol lembaga antirasuah. Media sosial ramai menyandingkan ucapannya pada 2021 dengan berita penangkapannya hari ini. Tagar bernada satir berseliweran, menggambarkan publik yang muak sekaligus terhibur oleh ironi politik negeri ini.
OTT yang Mengguncang
Menurut keterangan resmi, KPK menduga ada praktik pemerasan terhadap perusahaan-perusahaan yang mengurus sertifikasi K3. Sertifikasi ini sejatinya bertujuan melindungi pekerja, memastikan standar keselamatan, dan menekan angka kecelakaan kerja. Tapi di tangan oknum, justru menjadi lahan transaksi gelap.
“Kasus ini bukan sekadar tentang uang, tapi juga soal keselamatan jutaan buruh yang bisa terabaikan karena urusan sertifikasi berubah menjadi ajang pungli,” kata seorang peneliti kebijakan ketenagakerjaan.
Dari Panggung Moral ke Ruang Tahanan
Fenomena Noel adalah potret klasik politik Indonesia: dari panggung moral menuju ruang tahanan. Ia dulu hadir membawa slogan antikorupsi keras, kini harus menghadapi konsekuensi hukum yang ia sendiri pernah minta paling kejam diterapkan.
Di sinilah publik merasakan getir: kata-kata yang pernah dielu-elukan ternyata bisa berubah menjadi bumerang. Lebih dari sekadar kasus pribadi, tragedi Noel menyiratkan kegagalan sistem politik yang terlalu mudah memberi ruang kepada figur kontroversial, namun rapuh dalam integritas.
Refleksi Publik
Kisah ini menyinggung pertanyaan lebih besar: apakah kita hanya memelihara “teater moral” dalam politik? Bagaimana mungkin seorang pejabat yang dulu mendesak hukuman mati untuk koruptor, justru tersandung kasus serupa dalam tempo singkat?
Bagi sebagian orang, Noel adalah simbol hipokrisi politik. Bagi yang lain, ia sekadar potongan kecil dari masalah besar: korupsi yang belum juga enyah dari tubuh birokrasi.
Yang pasti, sejarah akan mencatat: suara lantang hukuman mati koruptor kini terpantul balik, menyasar orang yang pernah mengucapkannya. Sebuah ironi pahit yang mungkin akan lama diingat publik.