RADAR24.co.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mendapat alokasi Rp 335 triliun dalam RAPBN 2026 kembali menuai kritik setelah ribuan siswa dilaporkan mengalami keracunan. M. Iqbal Nurmansyah, dosen kebijakan kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mahasiswa doktoral University of Queensland, menilai kasus ini menjadi peringatan penting soal lemahnya tata kelola program.

Dalam opini yang ditulis di Kompas.com pada 7 September lalu, Iqbal mengutip data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menyebut 4.000 siswa keracunan akibat makanan MBG dalam delapan bulan terakhir. Menurutnya, program besar tidak otomatis berjalan mulus jika implementasi di lapangan tidak diperhatikan.

“Terbitnya kebijakan dan program tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Implementasi program tidak semudah membalikkan telapak tangan,” tulis Iqbal, seraya menekankan pentingnya know-how atau keterampilan melaksanakan kebijakan sebagaimana konsep deliverology yang diperkenalkan Sir Michael Barber.

Iqbal menyebut ada empat langkah penting untuk memperbaiki tata kelola MBG. Pertama, membangun fondasi pelaksanaan dengan membentuk unit khusus di daerah yang bertanggung jawab atas performa program. Kedua, memahami faktor penghambat melalui aspirasi masyarakat dan berbagai pihak.

Ketiga, membuat rencana prioritas dengan memfokuskan sasaran wilayah, jenis makanan, serta strategi efisiensi rantai suplai. Menurut Iqbal, pemerintah pusat cukup memberikan pedoman umum, sementara inovasi bisa dikembangkan oleh aktor lokal.

Keempat, mendorong pelaksanaan program dengan mekanisme pengumpulan data dan evaluasi indikator secara berkala. Ia menegaskan indikator keberhasilan MBG tidak bisa langsung dikaitkan dengan prestasi akademik siswa, melainkan pada status gizi dan kesehatan anak secara berkelanjutan.

“Program makan bergizi gratis ini patut disyukuri karena bukan hanya janji politik, tetapi direalisasikan. Namun tujuan mulia itu harus dibarengi dengan tata kelola yang baik,” tulis Iqbal dalam opininya.