Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan 16 dokumen persyaratan capres-cawapres — termasuk ijazah, riwayat hidup, SKCK, hingga laporan kekayaan — sebagai informasi publik yang dikecualikan, memicu perdebatan serius. KPU berdalih bahwa langkah ini diperlukan demi melindungi data pribadi calon, sesuai dengan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan prinsip perlindungan data.

Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Kita memang telah memiliki Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), tetapi belum ada kejelasan tata kelola dalam konteks kepemiluan. UU PDP membedakan data yang bersifat sensitif (misalnya kesehatan, biometrik, keyakinan, atau informasi keluarga) dengan data yang bersifat umum (misalnya riwayat pendidikan atau jabatan publik). Sayangnya, KPU menyapu semua dokumen sebagai data pribadi tanpa memilah mana yang memang layak dilindungi, dan mana yang seharusnya menjadi bagian dari transparansi.

Seorang calon presiden bukanlah warga biasa. Ia mencalonkan diri untuk jabatan publik tertinggi, sehingga dokumen yang membuktikan kualifikasi, integritas, dan keabsahan dirinya — seperti ijazah, SKCK, atau laporan kekayaan — memiliki kepentingan publik yang jauh lebih besar daripada kepentingan privasi personal. Dalam konteks ini, hak publik untuk tahu seharusnya lebih diutamakan.

Masalah inti terletak pada disharmoni regulasi. UU PDP, UU Administrasi Kependudukan, UU KIP, dan UU Pemilu belum selaras dalam mendefinisikan batasan antara privasi dan keterbukaan. Akibatnya, lembaga seperti KPU mudah berlindung di balik interpretasi yang mempersempit ruang transparansi. Padahal, kebutuhan mendesak kita adalah melakukan harmonisasi regulasi: menegaskan mana data yang wajib dirahasiakan, mana yang boleh dibuka, dan bagaimana mekanisme perlindungan maupun keterbukaannya.

Tanpa pembenahan tata kelola data pribadi dalam pemilu, publik akan terus dihadapkan pada kebijakan serba abu-abu. Di satu sisi, ada alasan perlindungan privasi; di sisi lain, ada tuntutan transparansi yang tak bisa ditawar. Bila KPU hanya memilih menutup akses, yang lahir bukanlah rasa aman, melainkan kecurigaan.

Demokrasi hanya bisa tumbuh dalam terang. Melindungi data pribadi adalah keharusan, tetapi mengorbankan transparansi publik demi privasi pejabat publik justru berbahaya. Jalan tengahnya bukan menyembunyikan semuanya, melainkan mengatur secara tegas tata kelola data pribadi dalam kepemiluan. Itu berarti: revisi dan harmonisasi UU PDP, UU KIP, UU Adminduk, dan UU Pemilu agar ke depan, publik tahu persis dokumen mana yang rahasia, dan dokumen mana yang harus terbuka demi kepentingan bangsa.

Penulis: Dodi Sanjaya (Wartawan Radar24.co.id Jakarta)