Sejak 1998, reformasi politik Indonesia berjalan di atas optimisme: partai politik diharapkan menjadi wadah demokrasi, kanal aspirasi rakyat, sekaligus benteng terhadap kembalinya otoritarianisme. Namun, dua dekade kemudian, di era Presiden Joko Widodo, optimisme itu kian pudar. Demokrasi yang kita banggakan justru perlahan-lahan keropos dari dalam, dengan partai politik sebagai korban paling nyata.
Jokowi kerap dipuji sebagai pemimpin dengan gaya sederhana, dekat dengan rakyat, dan fokus pada pembangunan infrastruktur. Namun, di balik citra itu, ada wajah lain: kekuasaan yang lihai mengendalikan partai politik, menyuburkan fragmentasi, dan mengintervensi kepemimpinan demi melanggengkan stabilitas semu. Demokrasi memang tampak hidup di permukaan, tetapi sesungguhnya sekarat di bawah kendali istana.
Partai-Partai yang Dipatahkan
Kisah paling vulgar muncul dari Partai Demokrat. Pada 2021, publik dikejutkan oleh Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang yang menetapkan Moeldoko, Kepala Staf Presiden Jokowi, sebagai ketua umum. Manuver ini jelas bukan sekadar dinamika internal, melainkan intervensi kekuasaan yang ingin melemahkan oposisi. Meski pada akhirnya Kementerian Hukum dan HAM tidak mengesahkan kepemimpinan Moeldoko, keberanian orang dekat presiden untuk mencaplok partai oposisi mengirimkan pesan menakutkan: siapa pun yang berseberangan dengan pemerintah bisa dihancurkan dari dalam.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga menyimpan catatan panjang konflik. Dari pecahnya kubu Suryadharma Ali dan Romahurmuziy, berlanjut ke dualisme Romy dan Djan Faridz, hingga perebutan posisi antara Suharso Monoarfa dan Muhammad Mardiono. Dalam setiap episode, ada pola yang berulang: kubu yang tak sejalan dengan istana melemah, sementara kubu yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan mendapat legitimasi formal. PPP, partai tua yang seharusnya menjadi penopang demokrasi, justru dijadikan contoh betapa mudahnya sebuah partai dipatahkan.
Golkar, partai dengan sejarah panjang kekuasaan, pun tak lepas dari badai. Awal periode Jokowi langsung diwarnai konflik internal Golkar. Setelah kalah di Pilpres 2014 bersama Prabowo, Golkar pecah antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Kementerian Hukum dan HAM kemudian memberi legitimasi kepada kubu Agung. Konflik kemudian mereda lewat islah yang mengantar Setya Novanto menjadi Ketua Umum Golkar.
Setelah Setya tersandung kasus korupsi, kursi beralih ke Airlangga Hartarto yang bertahan hingga Pemilu 2024. Namun, pasca-Pemilu 2024, dinamika internal kembali bergejolak. Ketua Umum Airlangga mendadak mundur pada 13 Agustus 2024. Nama Bahlil Lahadalia, menteri kepercayaan Jokowi, muncul sebagai figur kuat yang disebut-sebut didorong kekuasaan untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan dari Airlangga. Pergeseran ini menegaskan bahwa Golkar tetap menjadi arena tarik-menarik elit politik dengan intervensi negara yang kental.
Pola yang Sama
Tak berhenti di sana, Hanura, Berkarya, PAN, hingga PKS mengalami gejolak serupa. Hanura pecah antara Wiranto dan Oesman Sapta, Berkarya direbut dari Tommy Soeharto oleh Muchdi PR, PAN bergejolak hingga melahirkan Partai Ummat, sementara PKS pecah lewat keluarnya Anis Matta dan Fahri Hamzah yang kemudian membentuk Partai Gelora.
Pola itu konsisten: partai yang berpotensi menjadi oposisi dilemahkan, bahkan jika perlu dipecah. Legitimasi hukum diberikan pada kubu tertentu, sementara yang lain dipaksa menyingkir. Hasilnya, partai-partai kehilangan independensi, kader kritis tersingkir, dan rakyat makin sempit pilihannya.
Demokrasi yang Retak
Jika dirangkum, intervensi kekuasaan di era Jokowi memperlihatkan tiga gejala: konflik internal partai diperuncing oleh tarik-menarik politik, kubu yang dekat dengan kekuasaan selalu lebih mudah mendapat legitimasi, dan oposisi dilemahkan hingga tak lagi punya daya tawar. Stabilitas politik yang kerap dipuji pada era Jokowi sejatinya bukanlah stabilitas demokrasi, melainkan stabilitas semu yang lahir dari penghancuran oposisi. Demokrasi kehilangan maknanya ketika partai-partai dipaksa tunduk.
Demokrasi dalam Bahaya
Demokrasi sejati lahir dari kompetisi sehat antarkekuatan politik, dengan rakyat sebagai penentu akhir. Namun, di bawah Jokowi, demokrasi justru dikorbankan demi kepentingan kekuasaan jangka pendek. Partai politik kehilangan independensi, oposisi terbelah, dan rakyat kehilangan pilihan nyata.
Jika demokrasi adalah rumah besar, maka Jokowi telah merobohkan tiang-tiang penyangganya dari dalam. Rumah itu mungkin masih berdiri, tetapi rapuh, siap runtuh kapan saja.
Pertanyaan Apakah bangsa ini akan membiarkan rumah demokrasi ambruk, atau justru bangkit untuk memperbaikinya kembali?
Penulis: Dodi Sanjaya (Wartawan Radar24 Jakarta)