RADAR24.co.id — Kantor Hukum Asima & Lawyers menegaskan keberadaan tanah adat (ulayat) di Lampung dan menolak keras klaim yang menyebutkan bahwa tanah adat tidak ada atau tidak diakui secara hukum. Pernyataan ini disampaikan menyusul viralnya video penertiban lahan yang diklaim PT Sumber Indah Perkasa terhadap masyarakat Buay Mencurung di Kabupaten Mesuji, di mana salah satu anggota FORKOPIMDA Mesuji menyatakan bahwa “tanah adat di Lampung tidak ada.”

Alian Setiadi, S.H., M.H., Ketua Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Cabang Bandar Lampung, menegaskan bahwa keberadaan tanah adat di Lampung memiliki dasar kuat secara historis, sosiologis, dan yuridis. “Konstitusi Republik Indonesia, khususnya Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, jelas mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, termasuk hak atas tanah, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Alian.

Ia juga menyinggung Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 yang mengakui hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada. Alian menambahkan, hukum adat di Lampung, yang berlaku di berbagai marga, telah mengatur penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah ulayat sebagai bagian integral dari identitas budaya dan keberlanjutan hidup masyarakat lokal. “Tanah adat bukan sekadar lahan, tetapi memiliki nilai sosial, ekonomi, dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat adat,” tegasnya.

Menurut Alian, narasi yang menyebut tanah adat tidak ada di Lampung merupakan upaya untuk mendelegitimasi hak masyarakat adat dan membuka peluang konflik agraria serta perampasan lahan oleh korporasi atau proyek pembangunan. “Narasi ini sering kali digunakan untuk melegitimasi penguasaan lahan oleh perusahaan dan memicu kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan hak mereka,” ungkapnya.

Alian mencontohkan, konflik agraria di Lampung kerap berakar pada sengketa batas dan penyerobotan lahan masyarakat adat oleh perusahaan perkebunan atau pemegang Hak Guna Usaha (HGU). “Fakta adanya konflik ini justru membuktikan bahwa tanah adat masih ada dan dikelola oleh masyarakat,” tambahnya.

Untuk itu, Kantor Hukum Asima & Lawyers mendesak Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan aparat penegak hukum untuk mengambil langkah konkret, yaitu:

1. Menghentikan narasi yang menyatakan tanah adat di Lampung tidak ada dan memfasilitasi pengakuan terhadap masyarakat hukum adat serta wilayah adat mereka sesuai amanat Konstitusi.

2. Meninjau ulang izin-izin dan HGU yang bermasalah, terutama yang tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat adat, serta mengutamakan pengembalian hak agraria rakyat.

3. Menghormati mekanisme musyawarah adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang sah.

“Kami akan terus mendampingi dan membela masyarakat adat di Lampung untuk memperjuangkan hak mereka atas tanah ulayat. Ini adalah komitmen kami untuk menjaga keadilan agraria dan melindungi identitas budaya bangsa,” pungkas Alian.

Kantor Hukum Asima & Lawyers berharap semua pihak, termasuk pemerintah dan korporasi, menghormati hak-hak masyarakat adat demi mencegah konflik agraria yang merugikan masyarakat lokal.