RADAR24.co.id — Peneliti keamanan digital Parasurama Pamungkas menilai Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) masih memiliki kekeliruan mendasar dalam memaknai konsep “keamanan”, “ketahanan”, dan “pertahanan” siber. Kekacauan konsep itu, menurutnya, berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan membuka ruang bagi intervensi militer di ruang digital.
Hal itu disampaikan Parasurama dalam diskusi publik bertema “Menimbang Kembali RUU Keamanan dan Ketahanan Siber” yang digelar pada Jumat, 17 Oktober 2025, pukul 14.00 WIB di Sadjoe Café & Resto, Tebet, Jakarta Selatan.
Menurut Parasurama, naskah akademik RUU KKS memaknai ketahanan siber sebagai bagian dari pertahanan nasional. Padahal, dalam literatur kebijakan siber global, ketahanan dan pertahanan memiliki cakupan yang berbeda.
“Ketahanan atau resilience berfokus pada kemampuan sistem dan masyarakat dalam bertahan dan pulih dari serangan siber, sementara pertahanan (defense) berkaitan dengan strategi militer dalam melindungi aset strategis negara. Ketika keduanya disamakan, maka pendekatannya menjadi militeristik,” ujarnya.
Ia menilai, penyamaan tersebut membuat RUU KKS terlalu berorientasi pada keamanan negara (state-oriented), bukan pada perlindungan individu dan sistem sipil. “Kalau fokusnya adalah pertahanan, maka logika yang muncul adalah keamanan negara. Padahal, yang seharusnya dilindungi adalah warga dan data mereka,” kata dia.
Parasurama menambahkan, dalam tata kelola siber ideal, kebijakan keamanan siber perlu dibedakan secara tegas dari kejahatan siber dan pertahanan siber. Keamanan siber berkaitan dengan perlindungan perangkat dan jaringan dari serangan, kejahatan siber diatur melalui hukum pidana seperti UU ITE, sedangkan pertahanan siber menjadi domain militer dalam konteks ancaman strategis.
“Masalahnya, dalam RUU ini, semua konsep itu dilebur jadi satu. Ini menimbulkan risiko tumpang tindih antar-lembaga dan potensi penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.
Ia juga mendorong agar penyusunan RUU KKS menggunakan pendekatan yang berbasis hak asasi manusia dan melibatkan banyak pemangku kepentingan. “Kita perlu reorientasi tujuan legislasi ini agar berfokus pada perlindungan individu, bukan sekadar memperkuat pertahanan negara,” ujarnya.
Parasurama menegaskan, tanpa klarifikasi konseptual yang tegas, RUU KKS dapat menjadi dasar bagi kebijakan yang justru mengancam privasi dan kebebasan berekspresi warga. “Keamanan siber harus human-centric. Kalau yang dijaga hanya negara tapi warganya tidak aman di ruang digital, itu bukan keamanan—itu kontrol,” ujarnya menutup.
Diskusi dimoderatori oleh Nurul Izmi ini juga menghadirkan sejumlah pembicara, di antaranya Saurlin Siagian (Komisioner Komnas HAM RI), Gina Sabrina (Sekjen PBHI), Al Araf (Ketua Badan Pengurus Centra Initiative) dan Ardi Manto (Direktur Eksekutif Imparsial).




