RADAR24.co.id –– Lebih dari 36 tahun berlalu sejak tragedi berdarah di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur, yang menewaskan setidaknya 246 warga tak berdosa, namun luka korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat itu masih menganga. Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Edi Arsadad, mengecam keras kelalaian negara yang tak kunjung memenuhi janji pemulihan hak korban, termasuk yang diucapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2023.
Dalam pernyataan resminya di hadapan wartawan di Jakarta, Sabtu (25/10), Edi Arsadad menegaskan bahwa upaya pemulihan hak korban Talangsari 1989 tak pernah benar-benar terjadi. “Pemulihan tak pernah terjadi. Kami hanya diberi janji-janji kosong. Jokowi mengakui pelanggaran HAM berat ini, tapi realisasinya nol besar. Di mana keadilan untuk kami? Di mana pengungkapan kebenaran yang dijanjikan?” tegas Edi, yang mewakili ratusan keluarga korban yang masih berjuang mencari keadilan.
Peristiwa Talangsari meletus pada 7 Februari 1989, saat aparat keamanan Orde Baru menyerbu kampung warga yang dituduh sebagai kelompok pemberontak Islamis. Serangan brutal itu tak hanya menewaskan ratusan orang, tapi juga meninggalkan puluhan korban penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan penghilangan paksa. Komnas HAM pada 2008 menyimpulkan tragedi ini sebagai pelanggaran HAM berat yang sistematis dan terencana, bahkan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Puncak kekecewaan korban mencapai klimaks setelah pengakuan Jokowi pada 11 Januari 2023 di Istana Negara. Saat itu, presiden menyatakan, “Dengan pikiran jernih dan hati yang tulus sebagai Kepala Negara, saya mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di masa lalu.” Jokowi bahkan menjanjikan pemulihan hak korban secara adil dan bijaksana, termasuk melalui mekanisme non-yudisial, tanpa menutup kemungkinan penyelesaian yudisial. Talangsari termasuk dalam 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui, di antaranya Peristiwa 1965/1966, Petrus, dan Trisakti-Semanggi.
Namun, hingga akhir masa jabatan Jokowi pada 2024, janji itu tak berujung pada tindakan konkret. Tim Penanganan Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) yang dipimpin Kemenko Polhukam memang melakukan verifikasi korban pada 2023, dengan data mencatat 127 keluarga korban terdampak di Lampung. Bahkan, Pemerintah Provinsi Lampung menyatakan dukungan untuk pemulihan non-yudisial pada Juli 2025, termasuk bantuan sosial dan program pembangunan. Tapi bagi Edi, itu hanyalah “lip service”. “Program pembangunan itu akan dilakukan pemerintah di mana saja, bukan khusus untuk korban Talangsari. Kami butuh pengakuan negara, restitusi, dan rehabilitasi nyata, bukan proyek infrastruktur yang tak menyentuh luka kami,” keluhnya.
Peringatan 36 tahun tragedi pada Februari 2025 semakin memperburuk situasi. Bersama KontraS, Amnesty International Indonesia, dan Asia Justice and Rights (AJAR), PK2TL menggelar aksi damai di depan gedung Kejaksaan Agung yang menuntut tiga hal utama: pengolahan perkara ke pengadilan HAM, koordinasi Komnas HAM-Jaksa Agung untuk pengumpulan bukti, serta pemenuhi hak korban atas kebenaran dan pemulihan, termasuk memorialisasi peristiwa. “Negara abai, impunitas berlanjut. Tanpa pengungkapan kebenaran, pemulihan tak akan maksimal,” demikian isi siaran pers gabungan mereka.
Edi juga menyoroti transisi pemerintahan ke Presiden Prabowo Subianto. Pada Desember 2024, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra serta Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengumumkan rencana penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, hingga kini, tak ada undangan atau komunikasi langsung dengan PK2TL, bahkan dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kemenko PMK. “Kami dibiarkan begitu saja. Arus balik HAM di 100 hari pemerintahan baru justru menunjukkan tren kekerasan aparat yang endemik,” tambah Edi, merujuk laporan Amnesty International Januari 2025.
Para korban kini bersiap melanjutkan perjuangan melalui aksi Kamisan rutin di depan Istana dan pengaduan internasional. “Kami bangga dengan teman-teman yang tak menyerah, meski sering diintimidasi. Tapi kemana lagi harus mengadu? Ke presiden baru? Atau ke Tuhan saja?” tanya Edi retoris, dengan suara bergetar.
Pemerintah pusat belum merespons pernyataan Edi hingga berita ini diturunkan. Sementara itu, PK2TL mengajak masyarakat bergabung dalam petisi online untuk memaksa negara bertanggung jawab. Tragedi Talangsari bukan sekadar catatan sejarah, tapi luka bangsa yang menunggu disembuhkan sebelum terlambat.




