Penulis: Hendri Sopian, (Mahasiswa Magister Ilmu Akuntansi 2025 Universitas Lampung)
Makan Bergizi Gratis (MBG) Anak Sekolah
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat sesungguhnya lahir dari niat baik: menekan angka stunting dan memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat dan cerdas. Ide memberi makanan bergizi kepada peserta didik secara gratis tampak visioner dan berpihak pada masa depan bangsa. Namun, idealisme yang tampak manis di atas kertas sering kali berbenturan dengan realitas di lapangan.
Di banyak tempat, MBG justru menimbulkan persoalan baru. Makanan yang disajikan tak jarang terbuang karena anak-anak tidak menyukainya. Ada kasus keracunan massal karena dapur penyedia tidak higienis. Tak sedikit pula cerita tentang perebutan proyek antara kelompok usaha dan relasi politik lokal. Akibatnya, program yang mestinya menjadi penyelamat gizi malah menjelma menjadi ladang proyek yang kehilangan arah moral.
Jika tujuan utamanya adalah menghapus stunting, seharusnya program ini diarahkan ke akar persoalan: keluarga miskin yang kekurangan asupan gizi. Anak sekolah hanyalah ujung dari rantai panjang kemiskinan gizi di rumah tangga. Karena itu, sudah saatnya MBG berevolusi menjadi Makan Bergizi Gratis Keluarga (MBG-K).
Makan Bergizi Gratis Keluarga (MBG-K)
Masalah gizi buruk dan stunting bukan terjadi di kantin sekolah, melainkan di dapur rumah tangga. Anak datang ke sekolah dalam kondisi lapar bukan karena sekolah tak menyediakan makanan, tapi karena di rumahnya memang tak ada yang bisa dimasak. Artinya, jika negara ingin menghapus stunting, intervensi harus dimulai dari dapur keluarga, bukan dari proyek makan siang seragam di sekolah.
Sayangnya, pelaksanaan MBG selama ini cenderung diseragamkan tanpa memperhatikan kondisi sosial ekonomi daerah. Sekolah-sekolah di kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya ikut menerima MBG, padahal sebagian besar siswanya berasal dari keluarga mampu. Sementara di pelosok Indonesia, tempat anak-anak benar-benar membutuhkan bantuan, pelaksanaannya justru terkendala. Di kota, makanan gratis sering mubazir; di desa, anak-anak tetap lapar.
Selain itu, pola pelaksanaan MBG yang bergantung pada dapur umum atau pihak ketiga sering kali menimbulkan persoalan baru. Banyak pihak berlomba menjadi penyedia makanan bukan karena kepedulian terhadap gizi anak, tetapi karena nilai proyeknya. Akibatnya, kualitas makanan sering kali diabaikan. Fokus bergeser dari “memberi makan bergizi” menjadi “menghabiskan anggaran.”
Maka, diperlukan pergeseran paradigma dari proyek konsumtif menjadi program pemberdayaan keluarga. MBG seharusnya menumbuhkan kemandirian keluarga dalam menyediakan makanan bergizi, bukan membiasakan anak menerima jatah nasi kotak setiap hari. Di sinilah gagasan MBG-K (Makan Bergizi Gratis Keluarga) menjadi relevan dan rasional.
Melalui MBG-K, bantuan gizi tidak lagi disalurkan dalam bentuk makanan siap saji, tetapi dalam bentuk kartu pangan bergizi berbasis Kartu Keluarga (KK) atau KTP. Kartu ini hanya dapat digunakan untuk membeli bahan makanan pokok seperti beras, telur, ikan, sayuran, dan buah, di pasar atau warung yang bekerja sama dengan pemerintah. Sistemnya seperti e-wallet yang dikunci: hanya bisa digunakan untuk kebutuhan pangan, tidak bisa untuk membeli rokok, minuman keras, atau bahkan top up judi online yang kini kian marak.
Dengan cara ini, negara benar-benar hadir di dapur keluarga. Ibu rumah tangga kembali berperan mengatur menu bergizi sesuai selera dan budaya makan keluarganya. Anak tidak lagi menerima makanan seadanya, tapi menikmati masakan dari rumah yang lebih higienis, segar, dan sesuai kebutuhan gizinya.
Lebih jauh lagi, sistem MBG-K akan menumbuhkan efek ekonomi berganda. Warung dan pasar tradisional akan hidup karena menjadi mitra penyedia bahan pangan. Distribusi ekonomi tidak lagi tersedot ke satu dua perusahaan besar penyedia nasi kotak, melainkan tersebar ke pelaku usaha kecil di tingkat lokal. Inilah konsep keadilan sosial yang sejati: bantuan negara yang tidak hanya menyehatkan rakyat, tetapi juga menggerakkan ekonomi rakyat.
Penutup
Tujuan utama dari program makan bergizi seharusnya bukan untuk membagikan makanan, melainkan untuk menghapuskan kemiskinan gizi dari akarnya. Jika akar masalahnya ada di rumah tangga, maka negara harus hadir di sana. Anak yang sehat lahir dari ibu yang sehat. Ibu yang sehat berasal dari keluarga yang mampu makan layak.
Karena itu, MBG perlu bertransformasi menjadi MBG-K (Makan Bergizi Gratis Keluarga) agar lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Program ini bukan hanya mengatasi stunting, tetapi juga membangun budaya makan sehat dan tanggung jawab bersama di tingkat keluarga.
Negara yang sejahtera bukan negara yang sibuk membagi proyek, melainkan negara yang memastikan setiap warganya bisa makan bergizi di rumahnya sendiri. Bangsa yang kuat tidak lahir dari nasi kotak yang terbuang, tetapi dari dapur keluarga yang selalu berasap dengan lauk bergizi setiap hari.
Jika pemerintah berani mengubah arah kebijakan dari proyek konsumtif menjadi kebijakan berbasis keluarga, maka cita-cita Indonesia bebas stunting bukan sekadar slogan, melainkan kenyataan. Karena bangsa yang sehat dimulai dari meja makan keluarga, bukan dari daftar proyek di APBN.



