RADAR24.co.id — Seorang tahanan kasus demonstrasi, Alfarisi bin Rikosen (21 tahun), meninggal dunia di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Medaeng, Surabaya, pada Selasa pagi, 30 Desember 2025, sekitar pukul 06.00 WIB. Alfarisi ditangkap terkait aksi demonstrasi Agustus 2025 dan didakwa atas kepemilikan senjata api berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Menurut informasi dari keluarga yang diterima KontraS Surabaya pada pukul 08.30 WIB, Alfarisi sempat mengalami kejang-kejang sebelum meninggal, berdasarkan keterangan rekan satu sel. Selama penahanan, ia mengalami penurunan berat badan drastis hingga 30-40 kilogram, menandakan tekanan psikologis berat dan dugaan kelalaian dalam pemenuhan layanan kesehatan.
“Kematian Alfarisi bin Rikosen saat dalam penguasaan negara mencerminkan kegagalan sistem pemasyarakatan Indonesia dalam melindungi hak atas hidup dan perlakuan manusiawi bagi tahanan,” ujar Andy Irfan, Sekretaris Jenderal Federasi KontraS. “Ini bukan kasus tunggal, melainkan pola berulang yang menunjukkan krisis struktural, terutama terhadap tahanan politik dari konteks kebebasan berekspresi.”
Alfarisi, yatim piatu asal Sampang, Madura, yang tinggal di Surabaya bersama kakaknya, ditangkap pada September 2025. Ia masih berstatus terdakwa dan belum menjalani sidang penuh. Kunjungan keluarga terakhir pada 24 Desember 2025 menunjukkan ia tidak mengeluh kesehatan serius. Jenazahnya dipulangkan ke Sampang untuk dimakamkan hari ini.
Federasi KontraS menilai kasus ini bertentangan dengan Nelson Mandela Rules PBB tentang standar minimum perlakuan tahanan. Atas nama Federasi KontraS, Andy Irfan mendesak pemerintah:
1. Melakukan penyelidikan independen, imparsial, dan transparan atas kematian Alfarisi, dengan akses penuh bagi keluarga dan publik.
2. Menjamin pertanggungjawaban hukum atas kelalaian aparat atau pihak terkait.
3. Mengevaluasi menyeluruh kondisi penahanan di Rutan Medaeng dan rutan lain, termasuk akses kesehatan yang layak tanpa diskriminasi.
“Kematian dalam tahanan menimbulkan tanggung jawab langsung negara. Kami tidak akan berhenti hingga ada keadilan,” tegas Andy Irfan.
Peristiwa ini menambah daftar panjang kekhawatiran atas praktik penahanan di Indonesia, khususnya pasca-gelombang demonstrasi Agustus 2025 yang memicu banyak penangkapan.



