RADAR24.co.id — Kawasan Hutan Lindung Register 38 Gunung Balak di Lampung Timur kembali menjadi sorotan dengan rencana penghijauan besar-besaran yang digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. Program ini bertujuan memulihkan ekosistem hutan yang telah rusak akibat perambahan selama puluhan tahun. Namun, rencana ini membuat sejumlah perambah yang telah lama bermukim di kawasan tersebut bingung mencari tempat tinggal baru. Minggu, 4 Mei 2025
Berdasarkan laporan, Register 38 Gunung Balak yang memiliki luas 22.072,19 hektar telah mengalami kerusakan signifikan sejak 1963 akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan permukiman. Sebelumnya, kawasan ini dipenuhi tanaman jagung dan hortikultura, bahkan desa-desa definitif dengan fasilitas pendidikan dan kantor pemerintahan telah berdiri. Konflik antara masyarakat dan pemerintah kerap terjadi karena penolakan terhadap program konservasi, termasuk Perhutanan Sosial pada awal 2020.
Kini, setelah keberhasilan program agroforestri yang dipelopori Idi Bantara penerima penghargaan Kalpataru 2024 dengan penanaman pohon avokad varietas Ratu Puan, KLHK berencana memperluas rehabilitasi hutan. Hingga kini, 997 hektar telah ditanami 393.800 pohon avokad melalui bantuan pemerintah, dan 1.000 hektar lainnya secara swadaya oleh masyarakat. Program ini tidak hanya menghijaukan kembali kawasan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani melalui hasil panen avokad.
Namun, rencana penghijauan ini menimbulkan dilema bagi perambah. Banyak dari mereka yang telah menetap selama puluhan tahun merasa kebingungan mencari lokasi baru untuk bermukim dan menggarap lahan. “Kami sudah tinggal di sini sejak kecil, lahan ini sumber hidup kami. Kalau harus pindah, ke mana lagi? Tidak ada kejelasan soal tempat baru,” ungkap Sutarno (45), salah satu perambah di Desa Bandar Agung.
Pemerintah setempat menyatakan sedang mencari solusi, salah satunya melalui program transmigrasi lokal seperti yang pernah dilakukan pada 1980. Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa program serupa tidak sepenuhnya berhasil, karena banyak masyarakat kembali ke kawasan hutan. Dinas Kehutanan Lampung juga mengusulkan pemberian lahan pengganti di luar kawasan hutan lindung, tetapi hingga kini belum ada kejelasan mengenai lokasi dan mekanismenya.
Idi Bantara, yang kini telah pensiun, menyarankan pendekatan humanis untuk menyelesaikan masalah ini. “Kuncinya adalah dialog dengan masyarakat. Mereka harus dilibatkan dalam program penghijauan, seperti yang kami lakukan dengan avokad. Jika mereka merasa memiliki andil, mereka akan mendukung, bukan menolak,” katanya.
Sementara itu, warga sekitar yang mendukung penghijauan berharap program ini dapat mengembalikan keaslian ekosistem Gunung Balak. “Dulu hutan ini lebat, sekarang botak. Kalau bisa hijau lagi, anak cucu kami yang akan merasakan manfaatnya,” ujar Susilo, warga Desa Bandar Agung.
Pemerintah menargetkan penanaman satu juta pohon setiap tahun di kawasan ini, dengan menyediakan bibit gratis bagi petani. Namun, tantangan terbesar tetap pada penyelesaian konflik lahan dan relokasi perambah. Tanpa solusi yang jelas, rencana menghijaukan Gunung Balak berpotensi menghadapi hambatan serius dari masyarakat yang merasa terpinggirkan.
HS