RADAR24.co.id — PT Mandiri Sawit Bersama II (MSB II), yang beroperasi di Kampung Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, dinilai bungkam atas dugaan pencemaran limbah lingkungan di wilayah tersebut.

Beberapa sungai yang terdampak diantaranya Sungai Rikit dan Sungai Batu-Batu menuju Sungai Soeraya, diduga tercemar oleh limbah pabrik kelapa sawit milik perusahaan PT Mandiri Sawit Bersama II (MSB II). Atas kondisi tersebut area sekitar menerima dampak negatif pada ekosistem dan kesehatan masyarakat sekitar.

Dugaan Pencemaran tersebut dirasakan langsung warga Dusun Rikit yang melaporkan bau menyengat dan perubahan warna air sungai yang signifikan, yang diduga berasal dari limbah pabrik. Kondisi ini telah menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan bagi nelayan setempat, bahkan memaksa mereka menghentikan aktivitas selama hampir sebulan.

Selain itu, masyarakat mengkhawatirkan dampak jangka panjang terhadap kesehatan akibat paparan limbah tersebut.

Ketidaksesuaian Izin dan Pengawasan

Mahasiswa Program Studi Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam (MPSDA), Universitas Syiah Kuala, Syafriadi menilai, “dampak pencemaran lingkungan yang terjadi di Sungai Rikit dan Batu-batu menuju Sungai Soraya harusnya tidak terjadi dan pihak perusahaan harusnya selaras dengan ketentuan-ketentuan yang ada”, ungkapnya, Kamis (8/5/2025).

Syafriadi meminta pihak perusahaan harus bertanggung jawab atas pencemaran yang menyebabkan matinya ikan di Sungai Souraya, Subulussalam. Dalam konteks hukum lingkungan itu sudah melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tuturnya.

Syafriadi melanjutkan, dalam Pasal 69 melarang setiap orang atau badan usaha untuk membuang limbah tanpa izin. Lalu di pasal 88 menyatakan bahwa penanggung jawab usaha wajib menanggung kerugian akibat pencemaran/kerusakan lingkungan, tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan (strict liability), terangnya.

Dan jika terbukti, perusahaan harus membayar ganti rugi kepada masyarakat dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi.

Syafriadi menegaskan, apabila juga tidak diindahkan perusahaan akan menerima konsekuensi tindak pidana pencemaran lingkungan bisa dikenai pidana penjara dan/atau denda, tergantung tingkat kerusakan dan dampaknya.

Pada dasarnya, perusahaan wajib melakukan analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan mengelola limbahnya dengan aman. Namun bila terjadi kelalaian, tanggung jawab tetap melekat, tegasnya.

Menurut laporan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam, pihaknya telah menemukan tujuh ketidaksesuaian terkait izin lingkungan dalam operasional PT MSB II. Perusahaan ini belum memiliki beberapa izin penting, seperti Izin Gangguan (HO), Sertifikat Laik Operasi (SLO) untuk pembuangan air limbah, dan persetujuan teknis pembuangan emisi.

Tuntutan Masyarakat dan Tanggung Jawab Perusahaan

Kepada Pemerintah Kota Subulussalam, ia mknya segera lakukan langkah-langkah perbaikan. Syafriadi juga mendesak pemerintah untuk lebih aktif dalam memantau dan mengawasi aktivitas operasional perusahaan guna mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah.

Selain itu, untuk memastikan perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat, diperlukan tindakan tegas dari pemerintah daerah dan pusat. Hal ini termasuk peninjauan ulang izin operasional PT MSB II, pelaksanaan uji laboratorium terhadap kualitas air sungai, dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi.

Transparansi dan akuntabilitas dari perusahaan serta pengawasan yang ketat dari pihak berwenang sangat penting untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan. Selanjutnya, pihak perusahaan diminta mensterilkan kembali kondisi sungai dan memberikan kompensasi kerugian bagi nelayan yang terdampak. (Ics)