RADAR24.co.id — Respon Sekretaris Daerah (Sekda) dan anggota DPRD Provinsi Lampung terhadap pengibaran bendera fiksi “Jolly Roger” dari serial anime One Piece menjelang 17 Agustus dinilai berlebihan. Bendera ini, yang dikaitkan dengan perlawanan terhadap ketidakadilan dan persahabatan dalam cerita One Piece, dianggap sebagian pejabat sebagai penggerusan nilai kebangsaan dan tidak menghormati jasa pahlawan kemerdekaan. Padahal, aksi ini mencerminkan kegagalan pejabat memahami ekspresi warga atas keresahan sosial yang kian memprihatinkan.

 

Pernyataan pejabat Lampung itu dinilai mencerminkan sikap otoriter yang menganggap kritik warga sebagai ancaman. Komentar semacam ini berpotensi membatasi kebebasan berekspresi, yang dijamin konstitusi. Respon tersebut justru memvalidasi makna bendera “Jolly Roger” sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan kekuasaan yang korup, sebagaimana digambarkan dalam cerita One Piece.

 

Sebagai perbandingan, Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menunjukkan sikap bijak dan santai terhadap pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua. Gus Dur mengakui bendera tersebut sebagai identitas kultural masyarakat Papua tanpa melarangnya. Dalam negara demokrasi, ekspresi warga melalui media apapun seharusnya dijamin, bukan disikapi dengan nada negatif atau ancaman pidana.

 

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menegaskan bahwa pengibaran bendera One Piece tidak melanggar hukum selama tidak merendahkan atau menggantikan Bendera Merah Putih. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, larangan hanya berlaku pada penghinaan terhadap Bendera Merah Putih.

 

Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo, menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dijamin Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Ia mengimbau pemerintah dan aparat negara menghindari pendekatan represif terhadap ekspresi warga. “Seharusnya pemerintah membuka ruang dialog untuk memahami aspirasi masyarakat, bukan menutup ruang kritik yang justru memperdalam ketidakpercayaan warga terhadap negara,” tegasnya.