RADAR24.co.id — Donald Trump selalu punya cara unik memandang dunia. Ketika kembali ramai soal kebijakan dagang dan tarif impor ala “Tarif Trump”, siapa sangka sebuah inovasi finansial dari Indonesia ikut jadi bahan perbincangan? Bukan soal minyak sawit atau nikel, melainkan QRIS—Quick Response Code Indonesian Standard.

QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) adalah sistem pembayaran digital berbasis QR Code yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Tujuannya adalah menyatukan berbagai metode pembayaran QR agar masyarakat tidak perlu memiliki banyak aplikasi berbeda.

Dari Warung Kopi sederhana ke Tokyo

QRIS diluncurkan Bank Indonesia pada 17 Agustus 2019. Awalnya sederhana: satu kode untuk semua aplikasi pembayaran. Murah, praktis, ramah UMKM. Tetapi sejak 2022, cakupannya menyeberangi batas negara. Thailand, Malaysia, dan Singapura lebih dulu terhubung. Jepang resmi ikut pada 17 Agustus 2025, dan Tiongkok sudah masuk tahap uji coba.

Artinya, turis Indonesia kini bisa makan ramen di Shibuya atau naik MRT di Singapura cukup dengan QRIS. Tidak perlu bawa dolar, tidak perlu Visa atau Mastercard.

QRIS dan Akselerasi De-Dolarisasi

Inilah yang bikin Amerika gelisah. Selama puluhan tahun, dolar AS menjadi “mata uang wajib” dalam transaksi lintas negara. Bahkan pembayaran di Asia kerap harus dikonversi ke dolar sebelum ditukar ke mata uang lokal.

Dengan QRIS antarnegara, mekanisme itu dipotong habis. Transaksi bisa langsung rupiah-baht, rupiah-ringgit, atau rupiah-yen. Biaya lebih murah, proses lebih cepat, dan ketergantungan pada dolar semakin berkurang.

QRIS bukan sekadar teknologi, tapi alat percepatan de-dolarisasi di Asia Tenggara. Dan tren ini sejalan dengan arus global—BRICS, Rusia, bahkan negara Teluk—yang mendorong mata uang lokal menggantikan dominasi dolar dalam perdagangan.

Kenapa Trump Marah dan Tersinggung?

Trump dikenal dengan doktrin “America First”, yang selalu menekankan dominasi dolar dan perusahaan AS di perdagangan global. QRIS dianggap “gangguan kecil” bagi jaringan raksasa keuangan seperti Visa, Mastercard, dan PayPal—semua berbasis di Amerika.

Dalam beberapa pidatonya, Trump menyinggung soal negara-negara yang mencoba membangun sistem pembayaran regional sendiri. “Mereka ingin keluar dari dolar. Itu tidak akan baik untuk Amerika,” ujarnya dalam salah satu rally. Walau tak pernah menyebut QRIS secara eksplisit, diplomasi finansial Asia Tenggara jelas masuk radar Washington.

Dari Tarif ke Transaksi

Trump punya jurus pamungkas: tarif impor. Selama masa kepemimpinannya dulu, ia menaikkan tarif baja, aluminium, bahkan barang konsumsi dari Tiongkok dan Eropa. Kini, isu tarif kembali dibawa dalam kampanyenya.

Bagi Trump, tarif bukan sekadar proteksi industri, tapi juga senjata untuk menghukum negara-negara yang “mengabaikan” dolar. QRIS, sebagai instrumen de-dolarisasi, secara tak langsung bisa jadi alasan baru untuk menekan negara-negara ASEAN jika dianggap mengurangi peran dolar dalam perdagangan.

Indonesia di Tengah Panggung

Bagi Indonesia, QRIS adalah kebanggaan sekaligus strategi. Ia bukan hanya memudahkan rakyat bertransaksi, tapi juga memberi posisi tawar baru di meja perundingan global. Indonesia tampil sebagai pionir finansial digital di ASEAN, setara dengan Tiongkok yang mendorong Alipay dan WeChat Pay.

Trump boleh gerah, tapi fakta di lapangan berkata lain: setiap hari jutaan orang Indonesia lebih memilih scan QRIS daripada memegang dolar. Di Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, hingga Tokyo, QRIS makin akrab di kasir.

Lebih Dari Sekadar Kode

QRIS lahir untuk memudahkan beli kopi di warung kaki lima. Tetapi dalam perjalanannya, ia menjadi simbol perubahan arsitektur finansial dunia. QRIS mempercepat de-dolarisasi di Asia Tenggara, membuka jalan transaksi lintas batas berbasis mata uang lokal.

 

Ketika Trump marah-marah soal tarif, QRIS diam-diam merangkai jaringannya di Asia. Sebuah kode kecil dari Indonesia, yang kini punya gaung besar di geopolitik global.