RADAR24.co.id — Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa soal dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan hingga ratusan triliun rupiah memunculkan reaksi berbeda dari dua kepala daerah. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung bersikap terbuka dan mendukung langkah evaluasi, sementara Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menilai perlu ada klarifikasi lebih lanjut terhadap data yang disampaikan.

Purbaya sebelumnya menyebut total dana pemda yang tersimpan di perbankan mencapai Rp234 triliun per Agustus 2025, berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI). Dari jumlah tersebut, DKI Jakarta dan Jawa Barat disebut termasuk daerah dengan simpanan terbesar.

Menanggapi hal itu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyatakan bahwa data yang disebut Purbaya sesuai dengan kondisi di lapangan. Ia mengakui dana sekitar Rp14,6 triliun memang masih berada di rekening Pemprov DKI Jakarta, namun bukan dalam bentuk deposito yang tidak terpakai.

“Saya sepakat seribu persen dengan Pak Purbaya. Dana itu memang ada, tapi merupakan bagian dari mekanisme keuangan untuk pembayaran proyek dan program strategis,” kata Pramono di Balai Kota Jakarta, Sabtu (25/10/2025).

Pramono menegaskan bahwa Pemprov DKI Jakarta berkomitmen menjaga efektivitas penggunaan anggaran dan terus mempercepat realisasi belanja publik. Ia menilai evaluasi yang dilakukan pemerintah pusat menjadi dorongan positif bagi daerah untuk semakin transparan dan efisien.

“Kami ingin penyerapan anggaran tetap optimal tanpa mengorbankan kualitas pembangunan. Transparansi dan akuntabilitas adalah bagian dari transformasi Jakarta menuju kota global yang efisien dan berkelanjutan,” ujar dia.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memilih merespons dengan lebih kritis. Ia membantah angka Rp4,1 triliun yang disebut Purbaya sebagai dana mengendap di wilayahnya, dan meminta agar pemerintah pusat membuka data secara lebih rinci.

“Dana itu bukan deposito, tapi kas daerah dalam bentuk giro untuk kegiatan rutin. Perlu ada penjelasan agar publik tidak salah memahami,” kata Dedi di Bandung.

Dedi juga meminta Kementerian Dalam Negeri dan Bank Indonesia melakukan verifikasi ulang terhadap data tersebut.

Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan bahwa perbedaan data antara Kemendagri dan BI—sekitar Rp18 triliun—terjadi karena perbedaan waktu pelaporan (cut-off) dan metode pencatatan. Ia menegaskan, tujuan evaluasi bukan untuk menyalahkan, tetapi mendorong percepatan belanja daerah agar manfaat anggaran segera dirasakan masyarakat.

Sementara itu, Purbaya menegaskan bahwa data yang ia sampaikan bersumber dari BI dan bersifat valid.

“Itu bukan urusan saya. Biar BI yang kumpulkan datanya. Tapi angkanya benar,” ujar Purbaya.

Perbedaan respons antara Pramono dan Dedi mencerminkan dua pendekatan berbeda dalam menghadapi isu keuangan daerah. Pramono tampil terbuka dan kooperatif terhadap upaya transparansi, sementara Dedi menekankan kehati-hatian serta verifikasi data.

Namun demikian, keduanya sepakat bahwa pengelolaan keuangan daerah yang efisien dan akuntabel menjadi kunci utama dalam menjaga kepercayaan publik dan mempercepat pembangunan di daerah masing-masing.