RADAR24.co.id – Penertiban kawasan hutan yang digencarkan pemerintah menuai kritik tajam karena dianggap mengabaikan nasib jutaan masyarakat yang bergantung pada perkebunan. Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc, memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi menciptakan ketidakpastian baru bagi ribuan keluarga.

“Dalam wawancara dengan Sawit Indonesia di Depok, Selasa (30/9/2025), ia mencontohkan kasus Tesso Nilo. ‘Kalau kebun masyarakat dihutankan kembali, bagaimana nasib ribuan orang yang sudah lama tinggal dan bekerja di sana? Memindahkan mereka tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan,’ tegasnya.”

Menurut Sudarsono, program ini kurang mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi. “Setiap hektare lahan sawit yang diklaim masuk kawasan hutan menyokong keluarga dan mata pencaharian. Sayangnya, verifikasi sosial di lapangan sering diabaikan,” katanya.

Ia menyebut sekitar 3 juta hektare lahan sawit berpotensi dialihkan atau disanksi, sambil mempertanyakan pengawasan pemerintah masa lalu. “Kehutanan selama ini bekerja apa, hingga peralihan lahan seluas itu lolos? Kini tiba-tiba mau diambil alih, tapi tanpa kemampuan pengelolaan yang memadai, masalah akan berulang,” ujarnya.

Ironisnya, Indonesia memiliki 60 juta hektare hutan produksi, tapi hanya 7 juta hektare lahan pertanian untuk pangan. “Kita jarang makan kayu, tapi nasi,” kelakarnya.

Akar Masalah: Regulasi Tumpang Tindih sejak 1967

Sudarsono menunjuk UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan sebagai biang kerok, karena bertabrakan dengan UU Pokok Agraria 1965. Kawasan hutan pun jadi “barang sakral” tanpa batas jelas.

“Proses pengukuhan meliputi penunjukan, tata batas, pemetaan, dan penetapan. Tata batas paling sulit karena menyentuh tanah masyarakat. Karena tak kunjung selesai, dibuat jalan pintas via Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang lemah secara hukum,” paparnya.

Kewenangan pengukuhan oleh Menteri Kehutanan juga keliru, seharusnya oleh pemerintah pusat mewakili semua sektor. “Ini blunder bertahun-tahun. Akibatnya, transmigran atau pemilik HGU bersertifikat sejak 1980-an tiba-tiba diklaim di kawasan hutan. Sertifikat bergambar Garuda Pancasila justru tak dihormati,” sesalnya.

Konflik agraria pun menumpuk, seperti di Tesso Nilo (Riau) dan Gunung Balak (Lampung). “Masalah bukan di masyarakat, tapi regulasi warisan Belanda-Jepang yang salah dasar, sehingga penegakan pun salah,” tandasnya.

Kontribusi Kehutanan Minim

Dalam 20 tahun, sektor kehutanan hanya menyumbang Rp28 triliun dari total investasi Rp3.200 triliun nasional—kurang dari 1%. “Bagaimana bisa menyejahterakan rakyat dengan kontribusi segitu?” tanyanya retorik.

Sudarsono mendesak evaluasi menyeluruh regulasi dan pendekatan berbasis realitas lapangan untuk menghindari konflik berkepanjangan.