Penulis: Miftha Pasha Alfallah (Mahasiswa Magister Ilmu Akuntansi 2025 Universitas Lampung)

Proyek kereta cepat Whoosh sejak awal merupakan proyek besar dengan nilai investasi yang tinggi dan tingkat risiko keuangan yang signifikan. Ketika rencana tambahan pendanaan dan penjaminan negara dibahas, Menteri Keuangan yaitu Purbaya Yudhi Sadewa, ikut bersuara dan menyampaikan sikap kehati-hatian. Hal ini didasari pertimbangan bahwa beban pembiayaan yang terlalu besar dapat berdampak pada APBN dan stabilitas fiskal jangka panjang. Sikap tersebut bukan berarti menolak proyek, tetapi merupakan bagian dari tugas menjaga risiko agar tidak membebani keuangan negara secara berlebihan.

Pembahasan mengenai hal ini kemudian diangkat dalam rapat tingkat tinggi, dan disinilah Presiden menyatakan bahwa keputusan strategis serta tanggung jawab politik proyek Whoosh berada langsung di bawah kepemimpinannya. Penting dipahami bahwa pengambilalihan ini bukan berarti Presiden menjalankan teknis operasional proyek, bukan juga berarti kementerian “melepaskan diri” dari tugas. Yang terjadi adalah penegasan arah kebijakan ketika ada perbedaan pandangan teknokratis mengenai pembiayaan, Presiden masuk sebagai penentu akhir agar proyek tidak terhenti atau terjebak dalam tarik-menarik birokrasi.

Sikap hati-hati yang ditunjukkan Kementerian Keuangan sebenarnya sangat penting dan dibutuhkan. Pengelolaan proyek sebesar Whoosh tidak bisa hanya mengandalkan semangat pembangunan atau keinginan cepat selesai, setiap langkah harus didasarkan pada perhitungan ekonomi yang matang. Risiko finansial yang tinggi, seperti utang proyek yang besar dan potensi kerugian jika jumlah penumpang tidak sesuai target, membuat keputusan Kementerian untuk bersikap berhati-hati menjadi langkah yang logis dan bertanggung jawab. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan besar harus seimbang antara ambisi dan manajemen risiko agar tidak membebani keuangan negara secara berlebihan.

Di sisi lain, keputusan Presiden untuk mengambil tanggung jawab langsung terhadap proyek Whoosh menunjukkan keberanian politik yang juga memiliki nilai strategis. Proyek infrastruktur sebesar ini bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga soal arah kebijakan, koordinasi lintas lembaga, dan visi jangka panjang. Tanpa kepemimpinan yang tegas, proyek semacam ini bisa terseret oleh tarik-menarik birokrasi atau perdebatan teknis yang berlarut-larut, sehingga manfaatnya bagi masyarakat bisa tertunda.

Namun, pengambilalihan tanggung jawab oleh Presiden baru akan efektif jika diikuti oleh langkah konkret dalam pengelolaan proyek. Misalnya, tata kelola keuangan harus lebih transparan dan akuntabel, kebijakan tarif perlu disesuaikan supaya lebih terjangkau, dan strategi peningkatan jumlah penumpang harus realistis serta berkelanjutan. Tanpa langkah-langkah ini, proyek besar bisa gagal mencapai tujuan utamanya, yaitu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sepanjang jalur kereta cepat.

Di sinilah relevansi Danantara muncul. Menurut laporan DPR, Danantara disebut sebagai pihak yang wajib menanggung utang Whoosh, karena proyek ini berada di bawah klaster BUMN yang dipimpin oleh Danantara. Artinya, meskipun Presiden mengambil tanggung jawab strategis, tanggung jawab finansial tetap terkait dengan struktur perusahaan dan kewajiban hukum mereka. Dengan kata lain, risiko fiskal terhadap APBN bisa dikurangi jika Danantara menjalankan kewajiban ini dengan tepat, tetapi tetap harus diawasi agar proyek tidak menjadi beban publik.

KESIMPULAN

Nasib kereta cepat Whoosh ke depan akan sangat ditentukan oleh beberapa faktor penting, yang juga memiliki implikasi langsung terhadap anggaran negara.

Pertama, integrasi transportasi. Akses menuju stasiun harus mudah dan terjangkau; jika tidak, masyarakat cenderung tetap memilih mobil atau kereta konvensional. Untuk itu, Whoosh perlu terhubung langsung dengan angkutan kota, KRL, MRT, LRT, atau shuttle, sehingga mobilitas dari pusat kota ke stasiun menjadi cepat dan nyaman. Jika integrasi ini gagal, jumlah penumpang akan rendah, pendapatan menurun, dan pemerintah berpotensi harus menanggung sebagian biaya operasional sebagai subsidi.

Kedua, kebijakan tarif. Harga tiket harus disesuaikan agar seimbang antara kemampuan masyarakat dan kelangsungan operasional proyek. Tarif terlalu tinggi membuat minat penumpang rendah, pendapatan turun dan proyek rugi. Tarif terlalu rendah membuat biaya operasional tidak tertutup sehingga negara harus menanggung defisit. Solusinya adalah tarif fleksibel, promo, bundling, atau paket perjalanan agar tetap menarik bagi masyarakat, sekaligus meminimalkan risiko tambahan beban pada APBN.

Ketiga, strategi penumpang dan pengembangan wilayah. Whoosh sebaiknya tidak hanya menjadi alat transportasi, tetapi bagian dari ekosistem ekonomi. Kawasan di sekitar stasiun perlu dikembangkan menjadi pusat bisnis, perumahan, dan wisata. Jika area sekitar stasiun hidup, jumlah penumpang meningkat secara alami, pendapatan proyek membaik, dan ketergantungan pada anggaran negara berkurang. Sebaliknya, tanpa pengembangan wilayah dan strategi penumpang yang tepat, pemerintah kemungkinan besar harus menambah dana publik untuk menutupi kekurangan biaya operasional, yang bisa membebani APBN.

Dengan demikian, keberhasilan Whoosh tidak hanya soal efisiensi transportasi atau prestise nasional, tetapi juga terkait langsung dengan pengelolaan keuangan negara. Semakin efektif integrasi, tarif, dan pengembangan wilayah dilakukan, semakin sedikit risiko proyek menjadi beban fiskal, dan semakin besar manfaat yang dirasakan masyarakat luas.