Oleh Edi Arsadad S.H (Ketua Ikatan Wartawan Online Provinsi Lampung)

Di tengah gemuruh banjir bandang dan longsor yang baru saja merenggut ratusan nyawa di Sumatera, narasi pemerintah tentang “penanganan cepat” dan “bantuan logistik” terdengar seperti obat penghilang rasa sakit sementara membuai korban dan masyarakat, tapi tak menyembuhkan akar masalahnya. Ya, tentu saja kita patut menghargai upaya evakuasi oleh BNPB, TNI, dan relawan yang berjuang di lumpur dan air bah. Namun, jika hanya itu yang ditawarkan, kita sedang menyeret rakyat ke siklus tragedi berulang: bencana datang, bantuan datang, lalu… tunggu bencana berikutnya. Yang sesungguhnya dibutuhkan bukan sekadar tangan bantu pasca-musibah, melainkan komitmen negara untuk menjaga kelestarian alam sebagai benteng utama menghindari bencana berkelanjutan. Sumatera, dengan hutan tropisnya yang kaya dan sungai-sungai yang vital, tak boleh lagi jadi korban pembangunan rakus yang mengorbankan generasi mendatang.

Bayangkan ini: akhir November 2025, hujan deras akibat siklon tropis KOTO dan bibit siklon 95B mengguyur Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat. Hasilnya? Tragedi dahsyat yang menewaskan 442 jiwa, 402 orang hilang, dan memaksa 28.427 warga mengungsi.

Di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 56 kejadian longsor dan banjir bandang menyapu 691 korban, termasuk 47 meninggal dan 51 hilang, desa-desa lenyap, jembatan putus, sekolah hancur.

Sementara di Aceh, banjir bandang di Nagan Raya menghanyutkan 250 rumah dan infrastruktur vital seperti masjid serta pos keamanan.

Di Sumatera Barat, Padang Pariaman jadi yang terparah dengan kerugian Rp6,53 miliar, kayu gelondongan liar membanjiri pantai Padang, tanda nyata eksploitasi hutan yang tak terkendali.

Ini bukan sekadar “cuaca ekstrem” ini bom waktu ekologis yang meledak karena deforestasi massal, konversi lahan pertanian jadi tambang ilegal, dan urbanisasi liar yang merusak daerah resapan air. Hutan Sumatera, yang dulu menyerap banjir seperti spons raksasa, kini jadi longsor karena akar-akarnya dipotong demi sawit dan emas.

Opini saya tegas: pemerintah harus berhenti bergantung pada respons darurat yang mahal dan tragis, lalu beralih ke pencegahan holistik. Pertama, terapkan moratorium ketat pada deforestasi di daerah rawan bencana, hentikan izin tambang dan perkebunan yang merusak sungai seperti Batang Gadis di Tapanuli. Kedua, investasikan anggaran besar untuk reboisasi massal, bukan hanya janji, tapi eksekusi nyata dengan melibatkan masyarakat adat yang paham pola alam. Ketiga, bangun sistem peringatan dini berbasis teknologi satelit dan AI, terintegrasi dengan pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah Sumatera agar anak muda tak lagi jadi korban tak berdaya. Dan yang paling krusial, reformasi kebijakan nasional: integrasikan kelestarian alam ke dalam target PDB, bukan anggap sebagai “biaya tambahan”. Negara yang kuat bukan yang pandai memadamkan api setelah terbakar, tapi yang menjaga agar api tak pernah menyala.

Bencana Sumatera 2025 ini adalah peringatan keras: jika kita terus membiayai bencana dengan nyawa rakyat, kita bukan lagi negara merdeka, tapi tahanan alam yang memberontak. Saatnya pemerintah turun tangan bukan hanya untuk selamatkan korban hari ini, tapi lindungi bumi untuk esok hari. Rakyat Sumatera pantas dapat lebih dari narasi kosong mereka pantas dapat masa depan hijau yang aman.