Fenomena wartawan abal-abal yang bersembunyi di balik UU Pers No. 40 Tahun 1999 telah menjadi ancaman serius bagi integritas jurnalisme di Indonesia. Dengan dalih kebebasan pers, oknum-oknum ini memproduksi berita tanpa verifikasi, yang lebih menyerupai opini pribadi ketimbang fakta jurnalistik. Praktik ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap media, tetapi juga mencoreng profesi wartawan yang menjunjung kode etik.

 

Lebih memprihatinkan, sebagian oknum ini menjadikan profesinya sebagai alat pemerasan. Mereka mendekati narasumber dengan ancaman penyebaran berita negatif, lalu menawarkan “solusi” berupa pembayaran agar berita tidak dipublikasikan atau dihapus setelah diposting.

Praktik ini sering kali disertai penghilangan link berita secara tiba-tiba, menunjukkan niat buruk dan ketidakpatuhan pada prinsip akuntabilitas jurnalistik.

 

Parahnya, ada pula wartawan yang berprofesi ganda sebagai pengurus LSM untuk memperkuat posisi tawar mereka. Dengan mengaku sebagai aktivis, mereka mengintimidasi narasumber dengan ancaman pelaporan ke pihak berwajib.

Modus ini mengeksploitasi ketakutan narasumber, terutama yang tidak memahami hukum, untuk meraup keuntungan pribadi. Tindakan semacam ini bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga berpotensi melanggar hukum pidana seperti pemerasan (Pasal 368 KUHP).

 

Praktik wartawan abal-abal ini mencerminkan lemahnya pengawasan dalam industri media. Dewan Pers, sebagai lembaga yang mengatur standar profesi, perlu memperketat verifikasi media dan wartawan, termasuk dengan mendorong sertifikasi kompetensi. Selain itu, penegakan hukum terhadap pelaku pemerasan berkedok jurnalisme harus lebih tegas untuk memberikan efek jera. Publik juga perlu diedukasi untuk lebih kritis terhadap sumber berita, sehingga tidak mudah dimanipulasi oleh oknum yang menyalahgunakan kebebasan pers.

 

Jurnalisme sejati adalah pilar demokrasi yang menuntut integritas, bukan alat untuk memeras atau mengintimidasi. Saatnya profesi ini dibersihkan dari oknum yang hanya mencari keuntungan di balik topeng UU Pers.

 

Penulis: Edi Arsadad , Ketua Ikatan wartawan online (IWO) Provinsi Lampung