Oleh: Edi Arsadad, Pemerhati dan Aktivis Hak Anak
Provinsi Lampung sedang menghadapi tantangan serius terkait meningkatnya kasus yang melibatkan anak-anak. Berdasarkan laporan Komnas Perlindungan Anak (PA) Kota Bandar Lampung, sepanjang tahun 2023 tercatat lebih dari 50 kasus, meningkat 4% dibandingkan tahun sebelumnya.
Kekerasan fisik, perundungan, pencabulan, hingga sengketa hak asuh anak mendominasi angka ini. Fenomena ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan kegagalan kolektif kita dalam melindungi generasi masa depan.
Sebagai aktivis hak anak, saya memandang situasi ini sebagai panggilan darurat untuk bertindak.
Mengapa Kasus Anak Meningkat?
Ada beberapa faktor yang berkontribusi pada maraknya kasus anak di Lampung. Pertama, lingkungan sosial yang kurang mendukung, seperti tingginya angka perceraian dan disharmoni keluarga, sering kali membuat anak rentan terhadap kekerasan atau penelantaran. Kedua, rendahnya kesadaran masyarakat tentang hak anak menyebabkan tindakan kekerasan, baik fisik maupun psikis, dianggap wajar, terutama di lingkungan rumah dan sekolah. Ketiga, perkembangan teknologi tanpa pengawasan memadai meningkatkan risiko anak menjadi korban kekerasan berbasis daring, seperti pelecehan seksual online. Terakhir, lemahnya penegakan hukum dan koordinasi antarinstansi membuat banyak kasus tidak tertangani dengan baik, bahkan terhambat oleh birokrasi.
Data menunjukkan bahwa kekerasan fisik terhadap anak di Lampung sebagian besar dilakukan oleh teman sebaya (75%), tenaga pengajar (12,5%), dan orang dewasa lainnya (12,5%). Ini mengindikasikan bahwa lingkungan yang seharusnya aman bagi anak—rumah, sekolah, dan komunitas—justru menjadi tempat terjadinya pelanggaran hak.
Ironisnya, banyak kasus tidak dilaporkan karena stigma sosial atau ketakutan korban, sehingga angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.
Pencegahan yang Harus Dilakukan
Untuk memutus rantai kasus anak di Lampung, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan semua pihak. Berikut beberapa langkah pencegahan yang mendesak:
1. Edukasi dan Sosialisasi Hak Anak
Masyarakat, khususnya orang tua dan pendidik, perlu diberi pemahaman tentang hak anak sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Sosialisasi ini harus menekankan bahwa kekerasan, sekecil apa pun, dapat meninggalkan trauma jangka panjang.
Program penyuluhan di desa-desa, sekolah, dan komunitas harus digalakkan untuk mengubah pola pikir bahwa kekerasan adalah cara mendisiplinkan anak.
2. Penguatan Sistem Pendidikan Ramah Anak
Sekolah harus menjadi ruang aman bagi anak. Pemerintah daerah perlu segera mengimplementasikan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap satuan pendidikan.
Guru juga perlu dilatih untuk mendeteksi dini tanda-tanda kekerasan atau perundungan, serta memiliki kompetensi dalam pendekatan psikologis yang mendukung perkembangan anak.
3. Peningkatan Akses Layanan Perlindungan
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus memastikan ketersediaan layanan perlindungan anak yang mudah diakses, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
Layanan pengaduan seperti SAPA 129 atau hotline WhatsApp 08111129129 perlu dipromosikan secara masif agar korban berani melapor. Selain itu, pendampingan psikologis dan hukum bagi korban harus diperkuat untuk memastikan pemulihan yang optimal.
4. Pengawasan Teknologi dan Media
Mengingat meningkatnya kasus kekerasan berbasis daring, orang tua dan sekolah harus mengedukasi anak tentang penggunaan internet yang aman. Pemerintah juga perlu bekerja sama dengan penyedia platform digital untuk memantau konten berbahaya dan mencegah eksploitasi anak secara online.
5. Koordinasi Antarinstansi dan Partisipasi Masyarakat
Penanganan kasus anak tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak. Pemerintah, kepolisian, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh agama harus berkolaborasi. Misalnya, kepolisian perlu lebih responsif terhadap laporan kasus anak, menghindari hambatan birokrasi yang sering dikeluhkan masyarakat.
Komunitas lokal juga dapat membentuk kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) untuk memantau dan mencegah kekerasan di lingkungan mereka.
6. Pendekatan Berbasis Keluarga
Keluarga adalah benteng pertama perlindungan anak. Program penguatan keluarga, seperti pelatihan komunikasi positif dan manajemen stres, dapat membantu mencegah kekerasan dalam rumah tangga. Dukungan ekonomi bagi keluarga miskin juga penting untuk mengurangi risiko penelantaran atau eksploitasi anak.
Penutup
Meningkatnya kasus anak di Lampung adalah alarm bagi kita semua. Anak-anak adalah amanah yang harus dijaga, bukan hanya oleh keluarga, tetapi juga oleh negara dan masyarakat.
Dengan pendekatan pencegahan yang komprehensif—melalui edukasi, penguatan sistem, dan kolaborasi lintas sektor—kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi anak. Mari bersama-sama wujudkan Lampung sebagai provinsi yang peduli dan melindungi hak anak, sehingga generasi masa depan dapat tumbuh dengan penuh harapan, bukan trauma.
Sumber:
-Laporan Komnas PA Bandar Lampung, 2023 -Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak