RADAR24.CO.ID, Lampung — Politisi Kota Metro, Deswan menilai fenomena ‘kontestan politik melawan kotak kosong’ sebagai hal normal yang mungkin saja terjadi dalam kontestasi pesta demokrasi, dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) misalnya.

Deswan menganggap, fenomena itu wajar saja terjadi, karena setiap partai politik mempunyai hak dan pertimbangannya masing-masing, dalam menentukan setiap calon yang akan diusungnya.

“Fenomena calon melawan kotak kosong ini hal yang normal. Karena partai itu punya hak dan pertimbangan masing-masing untuk mengusung calon dengan berbagai pertimbangan,” kata Deswan saat dikonfirmasi, Senin, 12/8/2024.

Menurutnya, kotak kosong bukan berarti kotak suara yang kosong, melainkan suatu kondisi di mana kemunculan kontestan politik sebagai calon tunggal yang tidak memiliki saingan. Sehingga, dalam surat suara posisi lawan, digambarkan dalam bentuk kotak kosong.

Deswan menilai, fenomena melawan kotak kosong bukan sebuah pengondisian kandidat. Sebab, partai politik tidak bisa diintervensi untuk tidak mengusung calon dalam pilkada.

“Ya mereka punya hak untuk mengusung atau tidak mengusung calon dalam Pilkada itu. Jadi, saya rasa hal semacam itu tidak tepat jika dikatakan sebuah pengondisian,” ucapnya.

Adanya kandidat peserta pemilu yang tunggal, lanjut Deswan, tidak lantas membuat calon tunggal tersebut untuk kemudian, serta merta diangkat menjadi kepala daerah secara aklamasi.

Karena, penyebab dari munculnya fenomena kotak kosong cukup beragam. Mulai dari sulitnya memenuhi persyaratan untuk maju di Pilkada terutama bagi kandidat yang independen, kemudian sistem koalisi yang pragmatis, hingga gagalnya kaderisasi di level partai.

“Jadi ya kembali lagi, apakah ada calon potensial yang akan maju dan parpol mau mengusungnya? Apalagi kita ini kan negara demokrasi dan semuanya bersifat terbuka, transparan. Maka, tidak ada yang menghalang-halangi atau menutup-nutupi,” cetusnya.

Dijelaskannya, biasanya ketika hendak mengusung calon dalam Pilkada, sejumlah faktor seperti rekam jejak, elektabilitas, popularitas dan juga kualitas bakal calon tersebut, akan menjadi pertimbangan setiap parpol.

“Jadi, ketika memang berbagai parpol itu hanya sepakat mengusung satu calon saja, maka mungkin bisa jadi memang calon tersebut dinilai cukup kuat dan mumpuni, jika dilihat dari semua aspek itu,” jelasnya.

“Seperti di Kota Metro ini misalnya, kan memang belum ada calon lain selain Pak Wahdi Siradjuddin. Maka, ya mungkin memang parpol lain masih menunggu dan melihat apakah ada tokoh potensial lainnya yang akan maju,” imbuhnya.

Menurut Deswan, dalam dunia politik apapun masih bisa terjadi, bahkan sekalipun waktu telah berada di detik-detik terakhir. Terlebih lagi, jika memang masih ada tempo 15 hari, bahkan hingga waktunya pendaftaran calon kontestan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Jadi, masyarakat tinggal menunggu saja sampai nanti waktunya pendaftaran calon peserta Pilkada itu ke KPU Metro,” imbaunya.

“Jangan termakan isu-isu yang mengatakan ini pengondisian lah, atau apa lah itu ya. Karena kan kita masih ada waktu sampai 15 hari lagi,” tukasnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, diketahui peraturan mengenai calon tunggal dalam Pilkada, pertama kali diatur dalam Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan Satu Pasangan Calon.

Regulasi itu, kemudian diperbarui kembali dengan terbitnya Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan Satu Pasangan Calon.

Sementara itu, aturan yang terbaru yakni Peraturan KPU RI Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan Satu Pasangan Calon.

Pewarta: Kiki.

Reporter: Odo Kuswantoro

Tag