Belakangan ini, publik dikejutkan oleh sorotan media, baik cetak maupun daring, tentang sengketa harta gono-gini yang kian memanas. Isu ini bukan sekadar perebutan harta, tetapi juga menyeret laporan dan laporan balik antara mantan suami-istri, yang kini menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
Di tengah hiruk-pikuk ini, saya berkesempatan berbincang dengan Harpani, atau akrab disapa Bang Pani, Ketua Senat Mahasiswa di sebuah Kampus Merdeka berbasis pondok pesantren. Dengan gayanya yang santai namun tegas, Bang Pani menyambut saya di kediamannya di Jl. Salam No. 71, Komplek Kampus, Kota Metro, Lampung. Ia membuka obrolan dengan nada ringan, “Gimana, apa kabar berita hari ini di kota kita?” Namun, di balik senyumnya, ia menawarkan pandangan tajam tentang isu yang tengah viral ini.
Menurut Bang Pani, harta gono-gini adalah harta yang lahir selama perkawinan, yang dapat dibuktikan dengan dokumen seperti sertifikat kepemilikan. Namun, ia menegaskan bahwa membuktikan harta pusaka atau milik pribadi dari sebelum perkawinan adalah tantangan besar, terutama jika usaha tersebut terus berjalan hingga perceraian. “Harta itu kan dinamis, sulit dipisah mana yang murni sebelum atau sesudah pernikahan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perbuatan menjual harta bersama secara sepihak, yang menurutnya jelas melawan hukum. “Selama masih dalam ikatan pernikahan, perempuan wajib mendapat izin suami untuk transaksi hukum. Kalau sudah cerai, ya harus musyawarah,” tegasnya, merujuk pada Pasal 372 KUHP. Namun, ia mengingatkan bahwa sengketa semacam ini sering kali rumit karena melibatkan emosi, argumen hukum, dan pendampingan pengacara. “Jangan sampai seperti kasus Sambo, pengacaranya malah kena prank,” candanya, mengingatkan agar tidak terjebak pada permainan narasi.
Lebih lanjut, Bang Pani menyinggung isu pemalsuan tanda tangan yang ramai diberitakan, yang menurutnya merupakan delik pidana tersendiri (Pasal 263 KUHP) dan terpisah dari sengketa harta bersama (Pasal 372 KUHP atau Pasal 97 KHI dan UU Perkawinan). Ia menegaskan bahwa sengketa harta gono-gini memang menjadi ranah Pengadilan Agama (PA), tetapi jika menyangkut delik seperti penggelapan atau pemalsuan, maka itu wewenang Pengadilan Negeri (PN). “Jangan terjebak istilah ‘perbuatan melawan hukum’ dalam konteks perdata, karena kalau sudah masuk delik pidana, itu urusan PN, bukan PA,” jelasnya.
Di akhir perbincangan, Bang Pani mengajak kita untuk belajar dari dinamika sengketa ini. “Baik pelapor maupun terlapor, siapkan mental dan spiritual. Hukum itu soal data dan argumen, bukan cuma katanya-katanya,” tuturnya bijak. Ia mengingatkan bahwa di tengah panasnya pemberitaan, kita sebagai pengamat harus tetap objektif, tidak terbawa emosi, dan terus mencermati fakta.
Sengketa harta gono-gini ini, menurut saya, bukan sekadar drama hukum, tetapi juga cerminan betapa kompleksnya hubungan manusia dengan harta dan hukum. Mungkin, seperti kata Bang Pani, kunci penyelesaiannya ada pada musyawarah, data yang kuat, dan sikap bijak dalam menghadapi konflik. Semoga para pihak yang tengah berperkara menemukan jalan keadilan yang sejati, tanpa terjebak dalam pusaran sensasi media sosial.
Penulis : Eri