RADAR24.co.id – Masyarakat dari enam desa di Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu)-Riau, melakukan protes kepada kepala desa masing-masing desa. Protes itu muncul karena kebun dan rumah yang telah lama mereka kuasai secara turun temurun tiba-tiba diklaim sebagai kawasan hutan, bahkan disebut masuk dalam wilayah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT).
Padahal, masyarakat menegaskan sebagian lahan tersebut sudah pernah dijadikan objek ganti rugi kepada warga luar desa dan diusahakan turun temurun tanpa pernah adanya pemasangan patok atau pengukuran resmi pemerintah sebelum lokasi TNBT ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan.
Isu klaim kawasan hutan diwilayah desa Batang Gansal mencuat dalam pertemuan 10 kepala desa se-Kecamatan Batang Gansal bersama pengurus Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Kabupaten Inhu. Pertemuan tersebut turut dihadiri ketua bidang hukum Daeng Ibrahim dan Direktur Lembaga Kerja Sama Bisnis dan Advokasi (LKBA) JMSI Pusat, Zulpen Zuhri.
Enam kepala desa yang paling terdampak dan menerima protes dari warganya antara lain, Kades Rantau Langsat, Rosmawati, Kades Talang Lakat, Anton Nainggolan, Kades Siambul (diwakili Sari dan Jek), Kades Sungai Akat, Mustakim, Kades Usul, Rasadi, Kades Penyaguan, Marwan
Ketua Forum Kades Batang Gansal, Rasadi, dalam kesempatan itu memaparkan sejumlah persoalan yang memicu keresahan masyarakat.
“Wilayah desa banyak terdapat kawasan yang diklaim hutan. Tapi kondisi saat ini sudah ada tanaman masyarakat, baik karet, sawit, durian, maupun tanaman lain. Ini sudah lama dikuasai warga secara turun temurun di Kecamatan Batang Gansal,” kata ketua forum kades Batang Gansal, Rasadi, didampingi Sekcam Batang Gansal, Sudarman.
Semantara itu, Kepala Desa Penyaguan, Marwan, mengungkapkan dirinya bahkan pernah menolak permohonan penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) di Desa Penyaguan, karena lahan yang dimohonkan masyarakat termasuk dalam kawasan hutan. Namun, kebijakan tersebut justru memicu unjuk rasa warga ke kantor desa.
“Saya tolak melayani penerbitan SKT dan SKGR dari Desa Penyaguan, tapi saya didemo masyarakat. Padahal tanah yang diminta untuk dibuatkan surat itu sudah masuk dalam kawasan hutan menurut peta,” jelas Marwan.
Kondisi ini menciptakan kebingungan di masyarakat desa yang merasa hak mereka diabaikan, sementara pemerintah pusat dan instansi kehutanan belum pernah melakukan sosialisasi atau pengukuran secara langsung di lapangan sebelum kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh ditetapkan.
Sebagai tindak lanjut, enam desa meminta agar difasilitasi seminar tentang hak keperdataan tanah. Mereka menilai sosialisasi yang komprehensif sangat penting agar masyarakat paham bagaimana status kepemilikan, dokumen legal, dan upaya hukum yang bisa ditempuh.
Para kepala desa berharap pemerintah pusat maupun pihak berwenang segera melakukan klarifikasi dan mencarikan solusi yang adil agar kepastian hukum atas tanah warga bisa terjamin, sehingga tidak terus memicu ketegangan di masyarakat
Aj/pelita riau