~Oleh : Kiki Anggi (wartawan radar24.co.id)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diksi arogansi didefinisikan sebagai suatu kesombongan, congkak, atau keangkuhan. Sifat arogan adalah semacam perasaan superioritas yang dimanifestasikan dengan bersikap memaksa atau pongah. Biasanya, arogansi dilakukan oleh mereka yang cenderung ingin menampilkan kekuasaannya terhadap sesuatu.

Manusiawi memang. Sebab, arogansi berjarak cukup dekat dengan sifat dasar setiap insan, yang acap kali terjebak dalam ketidakpuasan atas pencapaiannya. Para penguasa, adalah golongan yang penulis anggap punya potensi mengidap salah satu penyakit hati ini.

Sifat arogan yang berdekatan dengan syahwat kekuasaan, kadangkala menyebabkan orang-orang yang bersifat demikian mengira, bahwa kekuasaannya adalah yang paling tinggi. Meskipun kenyataanya, di atas langit masih ada langit. Padahal, kesombongan itu hanya membuat dia terlihat seperti pemilik kumis kemerahan, yang mengaku brewokan. Miris bukan?

Seperti misalnya, kejadian yang kabarnya sempat beredar luas di media massa beberapa waktu lalu, tentang perilaku tak elok dari oknum gubernur sombong, yang pernah menantang seorang pejabat di salah satu Kementerian RI, lantaran kepala daerah itu dilaporkan tidak ikuti instruksi pemerintah pusat.

Kala itu, video dari oknum pejabat pemerintahan daerah yang diunggah ke jejaring sosial itu menuai ribuan komentar pedas dari netizen. Bahkan, ada yang melabelinya sebagai gubernur congkak yang anti kritik.

Lain kisah. Sebelum menjajaki dunia kewartawanan, penulis pernah mengalami percobaan pemerasan dari oknum aparat penegak hukum, sekitar 5 tahun silam. Polisi berpangkat tiga balok emas itu dengan congkaknya memerintahkan bawahan, untuk meminta sejumlah uang atas pelanggaran yang belum diuji kebenarannya oleh pengadilan.

Pernah juga, penulis mengalami tindakan intervensi oleh oknum pamong warga. Alih-alih membela kesalahan yang dilakukan warganya, dengan nada bicara tinggi, dia menantang duel dan mengeluarkan kalimat-kalimat bernada ancaman.

Selain itu, lingkar pergaulan penulis yang menggeluti profesi wartawan, kerap membuat penulis menjumpai oknum-oknum “Sok Yes, Awak No” dari berbagai profesi, organisasi, pangkat dan jabatan.

Perasaan muak yang tak lagi terbendung, disebabkan betapa menjamurnya perilaku demikian, seperti tertuang di atas tadi, menjadi latar belakang tulisan ini dibuat.

Sastrawan asal Inggris, Bulwer Lytton pernah menuliskan seuntai kalimat yang cukup membumi, The pen is mightier than the sword yang artinya pena lebih tajam dari pada pedang.

Kalimat itu dapat diartikan bahwa tulisan bisa memberi suatu pengaruh yang kuat, bahkan mampu menimbulkan dampak atau kerusakan yang lebih parah, ketimbang besutan mata pedang.

Melalui artikel ini penulis berharap, setidaknya bisa menjadi semacam serum penawar bagi kaum kroco yang mengidap penyakit kesombongan akut alias arogan, atau boleh jadi sebagai sarana untuk berkaca diri, sekadar mengingatkan bahwa di puncak arogansi tertinggi ada sosok kesatria piningit yang penulis sebut sebagai Pemimpin Bertangan Besi.

Sejumlah ahli memiliki pendapat beragam mengenai istilah tangan besi. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Sebagian mereka menggolongkannya sama dengan otoriter, diktator, tirani dan autokrat. Lainnya, beranggapan bahwa tangan besi itu tidak sama dengan gaya kepemimpinan tersebut.

Sekretaris Jenderal Kongres Advokat Indonesia (KAI), Aprillia Supaliyanto menyebut bahwa karakteristik pemimpin tangan besi itu berbeda dengan gaya kepemimpinan otoriter, apalagi diktator. Senada dan sepenarian, penulis cenderung setuju dengan statement beliau.

Penulis mendefinisikan pemimpin bertangan besi sebagai pejabat tinggi yang berani, tegas dan keras dalam menegakkan aturan. Cenderung kejam, keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Tidak menjadikan kepentingan-kepentingan golongan tertentu sebagai bahan pertimbangan, sehingga masalah apapun tidak berlarut-larut atau berpotensi menjadi benang kusut di tubuh pemerintahan.

Apabila suatu sistem pemerintahan dinakhodai oleh Si Tangan Besi, maka tidak akan ada orang lain yang sanggup bersikap arogan, apalagi jika harus berhadapan dengannya.

Suatu negara atau wilayah yang dipimpin Si Tangan Besi, otomatis akan berada di bawah kendalinya langsung, seribu persen.

Pemerintahan yang seperti itu lah yang penulis maksud sebagai sebuah birokrasi yang gila alias “Birocrazy”. Di mana daerah itu akan menjadi suatu utopia bagi penggila kedisiplinan, ketaatan dan ketertiban yang sesungguhnya.

Jika diminta untuk menyebutkan contohnya, penulis berpendapat bahwa di era modern seperti saat ini, sosok Kim Jong Un adalah tokoh ideal yang nyaris sempurna, memerankan karakter Pemimpin Bertangan Besi.

Kegilaan-kegilaan yang dilakukan Kim Jong Un dalam negara yang ia pimpin sungguh menakjubkan. Misalnya, dalam penegakan hukum yang tegas dan kejam, serta tidak kenal kompromi kepada koruptor.

Hal itu merupakan tindakan yang sangat dinantikan oleh sejumlah besar masyarakat +62. Masyarakat yang mana? Yang merasa jijik dengan eks terpidana tipikor, namun dengan tebal muka masih merasa layak untuk tampil kembali atau mencalonkan diri sebagai bagian di dalam panggung birokrasi. Menjijikkan!

Selain urusan korupsi, bisa dipastikan tangan besi Kim Jong Un bakal menghantam topeng-topeng arogan dari wajah oknum pejabat kelas tanggung, jika dia hadir memimpin di Bumi Nusantara.

Segala polemik berkepanjangan yang disebabkan konflik agama dan ideologi tidak akan berlarut-larut, soal mirasantika yang bertahun-tahun meracuni generasi tentu juga akan sirna sampai ke akar-akarnya, pelaku pemerkosaan dan pengidap pedofilia bakal terima ganjaran sepadan, dan dunia musik, perfilman serta sosial media akan dikontrol ketat agar pembodohan yang masuk melalui celah panggung hiburan itu tidak mengontaminasi, meracuni bibit-bibit generasi masa depan.

Pada akhirnya, di bawah sistem Birocrazy Pemimpin Bertangan Besi, akan tumbuh subur masyarakat yang terhegemoni. Secara otomatis juga mereka akan menyepakati nilai-nilai ideologis Si Penguasa, dikarenakan rasa takut atas kekejaman yang bersembunyi di balik penegakan hukum dan aturan.

Seorang filsuf Yunani kuno, Aristoteles pernah berkata There is no genius without a crazy mind yang berarti tidak ada hal jenius tanpa sebuah ide yang gila.

Oleh sebab itu, penulis beranggapan bahwa untuk merubah keadaan secara signifikan, dibutuhkan gebrakan dari orang-orang yang gila, termasuk dalam hal memberantas sifat arogan di tengah masyarakat dan menyasar oknum-oknum pejabat kelas tanggung.

Sekalian saja berikan kekuasaan tertinggi itu kepada dia yang menyerupai Kim Jong Un, agar bisa menyapu bersih bermacam rupa kroco arogan sampai ke akar-akarnya. Gila bukan?