RADAR24.co.id — Kawasan Hutan Lindung Register 38 Gunung Balak di Lampung Timur, yang ditetapkan sebagai hutan lindung sejak 1935 melalui Besluit Residen No.664, kini dihuni ribuan warga.

Luas kawasan ini mencapai 22.292,5 hektare, namun sejak 1963, pembukaan lahan oleh masyarakat telah mengubah sebagian besar kawasan hutan menjadi permukiman dan lahan pertanian.

Konflik tenurial antara warga dan pemerintah pun terus berlangsung selama puluhan tahun. Lantas, langkah apa yang diambil pemerintah untuk menghijaukan kembali kawasan ini?

 

Sejarah Perambahan dan Konflik

 

Pembukaan kawasan hutan Gunung Balak dimulai pada 1963, di antaranya oleh tokoh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang membuka lahan untuk perkampungan. Pada 1965, sekitar 2.560 warga telah menempati kawasan ini, yang terbagi dalam empat blok permukiman.

Meski pada 1980 pemerintah meluncurkan program reboisasi dan transmigrasi lokal untuk mengosongkan kawasan, Namun paska reformasi 1998 ribuan warga kembali menebangi pohon dan menempati register 38.

Hingga kini, desa-desa definitif dengan fasilitas pendidikan dan pemerintahan berdiri di dalam kawasan hutan lindung, menyulitkan upaya pengosongan lahan.

 

 

Langkah Pemerintah: Diplomasi Alpukat dan Agroforestri

 

Untuk mengatasi konflik dan mengembalikan fungsi hutan lindung, pemerintah melalui Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Way Seputih Way Sekampung menerapkan pendekatan agroforestri, dengan fokus pada penanaman alpukat.

Program ini dipelopori oleh Idi Bantara, Kepala BP DAS, yang berhasil membangun kepercayaan warga dengan memperkenalkan alpukat sebagai tanaman produktif yang mendukung ekologi dan ekonomi.

 

Sejak 2019, program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di Desa Girimulyo, Kecamatan Marga Sekampung, telah menanam alpukat jenis Siger seluas 316 hektare hingga 2023, dengan rata-rata 200 pohon per hektare. Alpukat ini mulai berbuah pada umur dua tahun, menghasilkan pendapatan hingga Rp200 juta per hektare per tahun. Total, 393.800 pohon alpukat telah ditanam melalui bantuan pemerintah, dan 1.000 hektare lainnya ditanam secara swadaya oleh warga. Alpukat lokal ini bahkan telah dipatenkan dengan nama “Avokad Ratu Puan”.

 

Selain alpukat, Idi mendorong program penanaman satu juta pohon setiap tahun dengan menyediakan bibit gratis bagi petani. Ia juga mengembangkan inovasi kompos blok dari kotoran gajah dan sapi untuk mendukung pertanian berkelanjutan.

Pendekatan ini tidak hanya menghijaukan kembali kawasan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan warga, menjadikan Gunung Balak sebagai percontohan nasional dan internasional.

 

Tantangan dan Solusi

 

Meski program agroforestri menunjukkan hasil positif, tantangan masih ada. Penebangan liar di Kecamatan Sekampung Udik dan Bandar Sribawono terus terjadi, dengan laporan terbaru pada 2024 menyebutkan pembalakan kayu karet seluas puluhan hektare. Kekurangan personel pengawas dan keterbatasan wewenang Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Gunung Balak menghambat penegakan hukum.

Selain itu, warga mengeluhkan pajak tanah di kawasan hutan lindung, yang menimbulkan kebingungan karena status lahan yang tidak boleh dikenai pajak.

 

Pemerintah mendorong skema perhutanan sosial agar warga dapat mengelola lahan secara legal tanpa mengubah status hutan lindung. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung juga berencana mendata ulang jumlah penduduk dan luas lahan yang ditempati untuk menyusun solusi komprehensif.

Warga diminta mengajukan izin pemanfaatan lahan sesuai Undang-Undang Kehutanan, sehingga pengelolaan lahan dapat terkoordinasi dan konflik antarwarga dapat dicegah.

 

Harapan ke Depan

 

Keberhasilan “diplomasi alpukat” di Gunung Balak menunjukkan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dapat menjadi solusi konflik tenurial sekaligus mendukung penghijauan. Idi Bantara, yang menerima penghargaan Kalpataru 2024 atas dedikasinya, menegaskan pentingnya pendekatan yang memadukan ekologi dan ekonomi. “Avokad adalah anugerah untuk Lampung. Kami ingin petani sejahtera sekaligus hutan kembali rimbun,” ujarnya.

 

Masyarakat diimbau untuk berpartisipasi aktif dalam program penanaman pohon dan menjaga kelestarian hutan lindung. Dengan pengawasan yang lebih ketat dan harmonisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, Hutan Lindung Register 38 Gunung Balak diharapkan dapat kembali hijau, menjalankan fungsinya sebagai penyangga kehidupan, sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi warga sekitar.

 

Sumber berbagai laporan media dan situs resmi pemerintah, termasuk kanalkomunikasi.pskl.menlhk.go.id, agroindonesia.co.id, dan antaranews.com.