RADAR24.co.id — Ribuan petani singkong dari berbagai kabupaten di Lampung menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di depan Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Lampung pada Senin (5/5/2025). Aksi ini menuntut realisasi harga ubi kayu sebesar Rp1.400 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15%, sesuai kesepakatan bersama pada 23 Desember 2024. Namun, pasca penetapan harga baru oleh Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal sebesar Rp1.350 per kg dengan rafaksi maksimal 30%, sebanyak 27 perusahaan tapioka di Lampung memilih menutup operasional mereka.
Aksi Demo dan Tuntutan Petani
Demonstrasi yang melibatkan petani dari Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Utara, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, Mesuji, dan Way Kanan ini sempat memanas. Massa berupaya menerobos barikade kawat berduri, memicu bentrokan dengan aparat keamanan. Setidaknya 10 personel kepolisian dilaporkan luka-luka. Petani menyuarakan kekecewaan karena banyak perusahaan tidak mematuhi kesepakatan harga, dengan harga beli di lapangan hanya berkisar Rp900 hingga Rp1.070 per kg dengan rafaksi hingga 30%. Selain itu, petani juga menuntut pengawasan rutin terhadap industri tapioka dan kembalinya alokasi pupuk subsidi.
Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Lampung, Dasrul Aswin, menyatakan bahwa perusahaan kerap mengabaikan kesepakatan harga, bahkan banyak yang mengaku tidak menerima surat resmi terkait kebijakan tersebut. “Kami ingin harga yang adil, sesuai modal yang kami keluarkan. Tapi kenyataannya, harga di lapangan jauh di bawah ketetapan,” ujarnya.
Respon Gubernur dan Penetapan Harga Baru
Menanggapi aksi tersebut, Gubernur Rahmat Mirzani Djausal turun langsung menemui massa dan menegaskan komitmennya untuk berpihak pada petani. Pada hari yang sama, ia menerbitkan Instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025, yang menetapkan harga ubi kayu sebesar Rp1.350 per kg dengan rafaksi maksimal 30%, tanpa pengukuran kadar air. Kebijakan ini merujuk pada surat Kementerian Pertanian tertanggal 2 Mei 2025 dan hasil rapat dengar pendapat DPRD Lampung pada 25 April 2025.
Gubernur juga menyatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan kepolisian dan DPRD untuk mengawasi implementasi harga di lapangan. “Lampung adalah produsen singkong terbesar di Indonesia. Tata niaga harus dijaga,” tegasnya.
27 Perusahaan Tapioka Tutup Operasional
Namun, kebijakan harga baru ini justru memicu reaksi dari pelaku industri. Sebanyak 27 perusahaan tapioka di Lampung, termasuk PT Teguh Wibawa Bhakti Persada (TWBP) di Lampung Utara, memilih menutup pabrik mereka mulai 6 Mei 2025. Alasan penutupan bervariasi, mulai dari perbaikan mesin hingga ketidaksanggupan memenuhi harga ketetapan karena persaingan dengan tapioka impor yang lebih murah, dengan harga sagu impor Rp6.200 per kg dibandingkan sagu lokal Rp7.000 per kg.
Manager Pabrik Tapioka Gajah Mada Internusa, Ko Pimping, menyatakan bahwa larangan impor sagu yang cepat dari pemerintah pusat dapat membantu menaikkan harga singkong lokal. “Jika impor sagu ditindaklanjuti, harga sagu lokal bisa naik, otomatis harga singkong ikut naik,” ujarnya. Namun, hingga kini, banyak perusahaan masih kesulitan bersaing, sehingga lebih memilih menghentikan operasional.
Dampak pada Petani dan Ekonomi Lokal
Penutupan pabrik ini membuat petani semakin bingung menjual hasil panen mereka. “Pabrik tutup, lapak sepi, harga tidak jelas. Kami mau jual ke mana?” keluh Ketut Suma, petani dari Mesuji. Lampung, yang menyumbang 39,74% produksi ubi kayu nasional dengan 5,9 juta ton pada 2022, kini menghadapi ancaman krisis ekonomi lokal jika situasi ini berlarut-larut.
Anggota DPRD Lampung dari Fraksi Gerindra, Wahrul Fauzi Silalahi, menyebut situasi ini sebagai ketidakadilan ekonomi bagi petani. “Pemerintah harus segera duduk bersama petani dan perusahaan untuk mencari solusi. Jika tidak, petani akan terus merugi, dan ekonomi daerah bisa terganggu,” tegasnya.
Langkah ke Depan
Pemerintah Provinsi Lampung dan DPRD mendorong pemerintah pusat untuk menetapkan harga dan standar mutu singkong secara nasional guna mengatasi disparitas harga dan persaingan dengan produk impor. Kementerian Pertanian juga telah memasukkan singkong sebagai penerima pupuk bersubsidi melalui Permentan Nomor 4/2025, yang diharapkan dapat meringankan beban petani.
Sementara itu, petani singkong berencana terus mengawal kebijakan harga dan mengimbau agar tidak menjual singkong muda atau berkualitas rendah yang dapat merugikan industri. Aksi diplomasi dan negosiasi diharapkan dapat menggantikan demonstrasi untuk mencapai solusi yang menguntungkan semua pihak
Situasi ini menjadi ujian besar bagi Lampung sebagai sentra singkong nasional. Tanpa intervensi cepat dan kerja sama antara pemerintah, petani, dan industri, nasib petani singkong di Lampung terancam semakin terpuruk.
AJ