Kabar duka kembali menyelimuti dunia peradilan Indonesia. Baru-baru ini, tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya ditangkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) atas dugaan suap dalam penanganan kasus pembunuhan Dini Sera, dengan tersangka Gregorius Ronald Tannur.

 

Tak hanya tiga hakim yang terlibat, seorang pengacara juga ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini mengundang kembali pertanyaan mendasar: ke mana lagi masyarakat dapat mencari keadilan ketika para penegaknya justru terjerat korupsi?

 

Kasus yang Mengguncang

 

Pada Rabu (23/10/2024), Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Jakarta menyampaikan penetapan tersangka terhadap tiga hakim PN Surabaya, yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.

 

Ketiganya disangka menerima suap dari pihak yang terkait dalam kasus tersebut. Tidak hanya para hakim, Kejagung juga menangkap Lisa Rahmat, pengacara dari Ronald Tannur, yang diduga sebagai pihak pemberi suap.

 

Penangkapan ini menambah deretan panjang hakim yang terjerat kasus korupsi. Masyarakat pun semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga peradilan, sebuah institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan.

 

Ironi di Tengah Tuntutan Kenaikan Gaji

 

Kasus ini menjadi ironis mengingat baru-baru ini para hakim di Indonesia sempat melayangkan ancaman mogok kerja untuk menuntut kenaikan gaji. Pemerintah akhirnya mengabulkan tuntutan mereka dengan memberikan kenaikan yang signifikan. Namun, kejadian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan finansial para hakim tidak serta merta menghapus praktik-praktik korupsi.

 

Korupsi di kalangan aparat hukum bukanlah permasalahan baru. Beberapa kasus besar menunjukkan bahwa korupsi di pengadilan tidak hanya terjadi di tingkat bawah, tetapi juga menyentuh para hakim di level tertinggi. Lalu, apa yang salah dengan sistem peradilan kita?

 

Deretan Hakim yang Terlibat Korupsi

 

Kasus tiga hakim PN Surabaya ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang menyeret nama-nama hakim ke ranah hukum karena suap dan korupsi. Beberapa kasus serupa dalam beberapa tahun terakhir turut mengguncang kepercayaan publik terhadap pengadilan:

 

Kasus Akil Mochtar – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini ditangkap pada 2013 karena menerima suap terkait sengketa pemilihan kepala daerah. Akil divonis penjara seumur hidup dan kasus ini menjadi tamparan keras bagi integritas lembaga peradilan di Indonesia.

 

Kasus Patrialis Akbar – Mantan Hakim Konstitusi ini ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2017 setelah terbukti menerima suap terkait pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Patrialis dijatuhi hukuman 8 tahun penjara.

 

Kasus Nurhadi – Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, ditangkap KPK pada 2020 atas dugaan menerima suap terkait penanganan perkara di pengadilan. Nurhadi divonis 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta.

 

Kasus Sudrajad Dimyati – Pada tahun 2022, Hakim Agung Sudrajad Dimyati ditangkap KPK karena menerima suap terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Kasus ini menunjukkan bahwa korupsi juga mengakar kuat di lembaga peradilan tertinggi

 

Penyebab Utama dan Langkah Perbaikan

 

Jika kita telaah lebih dalam, masalah mendasar di dunia peradilan Indonesia terletak pada beberapa faktor berikut:

 

Rendahnya Integritas – Meski hakim dianggap sebagai benteng keadilan, banyak yang gagal menjaga integritasnya. Iming-iming materi dan kuasa membuat beberapa hakim memilih jalan pintas dengan menerima suap, merusak citra lembaga peradilan.

 

Sistem Rekrutmen yang Bermasalah – Proses seleksi dan pengangkatan hakim di Indonesia dinilai belum maksimal dalam menyaring calon-calon hakim yang berintegritas tinggi. Ada celah dalam sistem rekrutmen yang memungkinkan hakim-hakim dengan moralitas rendah untuk menduduki

 

Pengawasan yang Lemah – Meskipun ada lembaga pengawasan seperti Komisi Yudisial (KY) dan KPK, nyatanya pengawasan internal di tubuh pengadilan masih sangat lemah. Hakim-hakim yang bermasalah seringkali bisa menghindari deteksi hingga akhirnya tertangkap tangan.

 

Kesejahteraan Hakim – Meski gaji hakim telah dinaikkan, persoalan kesejahteraan masih menjadi isu yang mempengaruhi perilaku koruptif. Selain gaji, tunjangan-tunjangan dan fasilitas kerja yang memadai juga perlu dipastikan agar para hakim tidak tergoda suap.

 

Untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

 

1. Peningkatan Pengawasan – Pengawasan yang lebih ketat dan independen terhadap perilaku para hakim perlu diterapkan. KY dan KPK harus diberikan kewenangan lebih besar dalam melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran integritas hakim.

 

2. Reformasi Sistem Rekrutmen – Proses rekrutmen hakim harus lebih transparan dan ketat. Tes integritas, psikologis, dan latar belakang perlu diperkuat untuk memastikan hanya calon-calon hakim terbaik yang lolos

 

3. Pendidikan Etika yang Lebih Intensif – Pendidikan dan pelatihan etika bagi para hakim perlu ditingkatkan. Hakim tidak hanya harus memahami hukum, tetapi juga penting untuk terus menerapkan nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kejujuran.

 

4. Penegakan Hukum yang Tegas – Penegakan hukum terhadap hakim yang terlibat suap harus lebih tegas, dengan hukuman yang memberikan efek jera. Tak ada toleransi bagi pelanggar integritas di lembaga peradilan.

 

Masyarakat Harus Berani Bersikap

 

Dalam situasi di mana lembaga peradilan kerap tercoreng oleh kasus-kasus korupsi, masyarakat pun perlu bersikap kritis dan berani melaporkan jika menemukan indikasi kecurangan dalam proses pengadilan. Upaya melawan korupsi di peradilan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat.

 

Pada akhirnya, kepercayaan terhadap lembaga peradilan harus dipulihkan. Hakim adalah sosok yang seharusnya dijadikan teladan, bukan justru pelaku kejahatan yang menghancurkan harapan rakyat. Dengan langkah-langkah reformasi yang jelas dan tegas, masih ada harapan untuk mengembalikan kehormatan dunia pengadilan di Indonesia. Jangan sampai korupsi di pengadilan menjadi kenyataan pahit yang terus berulang.

 

Ditulis oleh: Marius Gunawan

Reporter: Redaksi

Tag