RADAR24.co.id — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengutuk dua peristiwa penembakan oleh anggota Polri terhadap warga sipil yang terjadi di Semarang dan Bangka Belitung. Dua peristiwa tersebut menambah daftar panjang tindakan anggota kepolisian yang sewenang-wenang menggunakan senjata api hingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara.

KontraS mendesak Polri menghukum berat para anggota yang terlibat, menjatuhkan hukuman Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) dan melakukan proses hukum melalui kewenangan penyelidikan dan penyidikan untuk dipertanggungjawabkan secara pidana.

 

Badan Pekerja KontraS Dimas Bagus Arya mengungkap mendapatkan informasi peristiwa penembakan oleh polisi terjadi di Kota Semarang pada Minggu, 24 November 2024. Dalam kejadian tersebut, Gamma Rizkynata Oktafandy (16 Tahun) yang merupakan anggota Paskibra SMKN 4 Semarang meninggal dunia setelah ditembak oleh diduga Ajun Inspektur Dua (Aipda) Robig Zaenudin yang merupakan anggota Satres Narkoba Polrestabes Semarang. Selain korban meninggal, penembakan tersebut juga melukai A dan S.

 

” Pada hari yang sama, penembakan kembali terjadi di kebun kelapa sawit PT. Bumi Permai Lestari (PBL), Bangka Belitung. Korbannya menimpa Benny seorang warga Desa Berang. Beny meninggal setelah ditembak oleh anggota Brimob Polda Bangka Belitung. Benny ditembak setelah dituduh mencuri sawit milik PT. BPL” ujar Dimas dalam keterangan tertulis yang diterima Radar24.co.id Jum’at. 29/11/24

Atas dua peristiwa penembakan tersebut, KontraS menilai bahwa tindakan penembakan yang terjadi merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sangat serius. Polisi telah melakukan pembunuhan diluar hukum (extrajudicial killing atau unlawful killing).

” Selain melanggar HAM, kedua anggota dalam peristiwa tersebut melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan hingga prinsip-prinsip internasional, yakni terlanggarnya hak untuk hidup bagi korban, sebagaimana yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 (UU 12/2005)” terang Dimas.

 

” Terhadap penembakan yang khususnya menimpa Gamma, anggota kepolisian melanggar Pasal 37 Kovenan Internasional tentang Hak Anak (The Convention on the Rights of the Child) yang menyatakan setiap anak yang melanggar hukum, atau dituduh melanggar hukum, tidak boleh diperlakukan dengan kejam atau dengan tindakan yang dapat melukai. Anggota Kepolisian seharusnya tidak menjadi agen Algojo Negara dan melakukan perampasan nyawa warganegara dengan sewenang-wenang, sebab melanggar hak untuk hidup yang seharusnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, imbuhnya.

Dikatakan Dimas, Aparat yang melakukan penembakan hingga hilangnya nyawa dalam dua kasus di atas juga Melanggar prinsip penggunaan kekuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dimana ada prinsip yang harus dihormati yakni legalitas (sesuai hukum yang berlaku), nesesistas (situasi yang tak dapat dihindarkan), dan proposionalias (menghindari timbulnya kerugian, korban, atau penderitaan yang berlebihan).

“Tak hanya itu, kami juga menilai dalam dua peristiwa tersebut Anggota Polri yang menjadi pelaku penembakan telah melanggar ketentuan seperti diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri (Perkap 8/2009). Dalam Pasal 48 huruf b Perkap 8/2009, disebutkan bahwa senjata api hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia” urai Dimas.

 

Dimas mengatakan, Penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian harus melalui prosedur sebagaimana telah diatur dalam kedua perkap tersebut, dengan maksud untuk menghentikan dan menghindari jatuhnya korban. Pada dasarnya, Kepolisian Republik Indonesia telah memiliki instrumen untuk penggunaan kekuatan dan hak asasi manusia. Namun pada prakteknya, hal ini seringkali tidak diindahkan dan terbukti dengan maraknya kasus serupa yang berulang. Perlu adanya evaluasi mendalam. Negara juga harus melakukan langkah preventif terkait dengan eksekusi di luar hukum dengan sewenang-wenang.

“Dalam dua kasus di atas, kami menilai penggunaan senjata api yang menyebabkan korban jiwa dan luka telah digunakan aparat kepolisian tidak sesuai dengan prosedur. Seharusnya penggunaan senjata oleh institusi kepolisian disesuaikan dengan prinsip penggunaannya termasuk tata cara ketika senjata tersebut digunakan. Kami menekankan bahwa berulangnya peristiwa serupa yang pernah terjadi disebabkan karena proses penuntasan kasusnya tidak dilakukan secara transparan dan berkeadilan. Kami menuntut agar para pelaku dapat diberikan hukuman berat, tidak hanya sanksi etik yang berujung pada pemberhentian secara tidak hormat, namun juga penegakan hukum melalui peradilan umum”, Pungkasnya.

 

Red

Reporter: Redaksi